Minggu, 15 November 2009

Renang di Banda Aceh

A dream come true......pertama kali dalam lima tahunku di Aceh, renang di sebuah kolam renang, tepatnya di Hermes Palace. Hari yang bersejarah dalam perjalananku di Aceh.

Sebelumnya aku pernah mencoba renang di sebuah cottage di Banda Aceh. Sore itu kami bertiga bersepeda menuju lokasi. Sebelumnya aku sudah membuat janji dengan boss kecilku, untuk berenang di tempat ia tinggal. Dianya oke, tak masalah. Maka meluncurlah kami ke tujuan. Begitu sampai di tujuan, dianya tidak ada di tempat. Sang Satpam tidak memberikan ijin, yang ini itulah, kayaknya minta uang rokok! Jauh-jauh bersepeda onthel, gagal total. Akhirnya kami menghibur diri ke tempat warung buah.

Beberapa minggu sebelum hari bersejarah itu, sebenarnya akupun sudah mendatangi tempat yang sama dua kali dalam sehari semalam. Kedatangan pertama, malam hari: kolam baru dibersihkan. Janjinya, esok pagi sudah bisa dipakai untuk berenang. Esok paginya kami datangi, masih juga belum dibersihkan: masih juga gagal!

Nah baru tadi pagi hari itulah, hari bersejarah itu tercipta. Aku puas dapat berenang di sebuah kolam renang, di hotel berbintang lagi. Lewat bantuan seorang teman, dimana temanku tersebut pinjam kartu keanggotaan dari temannya: aku dapat renang di Aceh, setelah hampir lima tahun tinggal di Aceh. Byurrrrrrrrrrrrrrr.....................

Rabu, 11 November 2009

LSM organisasinya, "orang" pelaksananya

Proyek air bersih yang aku tangani, cukup besar untuk ukuran sebuah LSM nasional, yang harus aku dampingi.

Di tingkat lapangan, manajemen pelaksana tidak bagus, koordinasi kurang, tidak mau menghargai rekan kerja, sok pinter, kayak yang lebih berpengalaman, merasa paling hebat. Pelaksana jalan sendiri-sendiri, kurang koordinasi.

Sampai pada suatu saat untuk mengetes kebocoran pipa: hampir tidak ada yang berhasil, alias bocor semua. Nah disinilah ketahuannya! Tiap kali sang bos pelaksana melakukan inspeksi di lapangan, tak pernah sekalipun mampir sejenak di tempat pengetesan, nanya-nanya ke pekerja, memberi solusi dan lain sebagainya. Di tingkat pekerja, mereka memang mengakui kalau waktu pengerjaan, mereka lengah dalam mengawasi, sehingga kebocoran banyak sekali. Dan para pekerja, tetap semangat untuk memperbaiki, dengan nyali tinggi!

Giliran pada suatu hari, menjelang iedul fitri, para pekerja bersiap untuk bercuti. Pekerja yang berdedikasi tersebut bilang kalau dia disuruh pulang dan tidak usah kembali. Aku kaget sekali, ada apa semua ini?

Dan.....setelah selesai iedul fitri, memang dia benar-benar tidak kembali. Kabar terakhir, dia sudah mengundurkan diri dari organisasi. Sedangkan sang Boss? Sungguh tega sekali dan tidak mau introspeksi.

Pulo Ie, jalan Meulaboh II, Kuala Pesisir Nagan Raya

Dusun ini merupakan bagian dari sebuah desa yang pusat pemerintahannya ada di seberang sungai, terpisah dari induknya. Warga rajin-rajin, suka bergotong royong, mau berkorban untuk kepentingan bersama.

Asesmen pertama, memverifikasi sebuah mesjid yang hampir roboh, balok dan kolomnya banyak retak digoyang gempa. Waktu itu warga mengusulkan penambahan keramik untuk lantai saja. Hasil verifikasi, saya tidak berani memberi bantuan keramik. Aku usulkan, untuk mengusulkan membongkar masjid tersebut dan membangun yang baru. Tidak perlu besar, kecil tak mengapa asal cukup untuk keseluruhan warga. Toh, warga satu dusun tidak begitu banyak. Karena proses begitu lama, aku siapkan bangunan sederhana terlebih dulu yang terbuat dari kayu. Soalnya mereka butuh bangunan sementara untuk sholat bersama, dan tempat mengaji anak-anak.

Manajemen menyetujui, gambar rencana dibuat, sosialisasi dilakukan. Intinya semua persiapan sudah dilakukan, tinggal pelaksanaan. Mendadak ada perubahan kebijakan dari manajemen, gambar rencana yang sudah disosialisasikan tidak jadi dilaksanakan. Diganti dengan gambar baru yang lebih kecil. Sebenarnya tidak layak sih, kalau dibandingkan dengan ukuran tanah yang tersedia. Aku terjepit, serba tidak enak. Alhamdulillah, warga menerima dengan sedikit keterpaksaan.

Aku masih merasa menyesal, tapi penyesalanku yang amat teramat dalam adalah karena aku tidak sampai menemani mereka membangun masjid tersebut sampai jadi, karena aku keburu ditawari pindah ke Banda Aceh.

Selasa, 10 November 2009

Pulo, Kuala Pesisir, Nagan Raya

Menurut cerita penduduk, saat tsunami, hanya seorang warga yang meninggal diterjang ombak besar tersebut. Desa lama hilang, menjadi pantai dan rawa. Diperlukan lahan baru untuk memindahkan seluruh warga desa ini.

Pemda Nagan Raya, menyediakan tanah untuk relokasi. Berupa hutan belantara, bertanah gambut. Perlu waktu lama, untuk menjadikan tempat tinggal baru bagi warga Pulo. Alhamdulillah, warga cukup sabar. Datang pertama ke lokasi, warga berkomentar: "Hutan lebat ini akan menjadi kampung kami?".

Pekerjaan tahap I: Pembersihan hutan, pakai cash for work. Setiap hari seluruh warga ditemani staf kami membabat pepohonan di hutan tersebut. Dengan upah Rp 45.000,- per hari mereka berusaha untuk membersihkan lahan tempat rumah baru mereka.

Pekerjaan tahap II: scrapping dan grubbing, memakai alat berat: excavator dibantu warga giliran gotong royong tiap hari 10 orang. Sisa tonggak pohon di tahap I dibersihkan lagi pada tahap ini. Kali ini kami hanya menyediakan uang makan saja, untuk sepuluh orang setiap harinya. Warga hanya bertugas membantu kelancaran kerja alat ini. Kalau ada ranting kecil yang perlu dipindahkan, tugas warga untuk membersihkannya.

Pekerjaan tahap III: Pembangunan rumah permanen dan infrastrukturnya: jalan, air bersih dan masjid kecil. Untuk menentukan petak tanah dan rumah, dilakukan pengundian
agar setiap warga mendapatkan perlakuan yang sama. Kebetulan memang petak tanah dari Pemda berluas sama, tipe rumah bantuan kami juga sama semuanya.

Akhirnya setelah menunggu 3 tahun, warga dapat menempati rumah permanen di tempat baru, yang dulunya adalah hutan lebat bergambut.

sedikit yang kurasa dari buah reformasi

Sudah lama aku ingin mempunyai PASPOR. Karena aku tinggal di desa, perlu tenaga ekstra jikalau aku mengurusnya di tempat tinggalku, Jawa Tengah. Mulai perjalanan 4 jam naik angkutan umum, perlu penginapan, dan perlu waktu berhari-hari, mungkin seminggu, atau bahkan lebih. Nah, karena saat sekarang aku tengah bekerja di ibukota propinsi, aku punya kesempatan bagus untuk itu, hanya butuh sedikit tenaga untuk mengurusnya.

Hari pertama: mendaftar, beli formulir Rp 15.000,-, pengisian langsung di tempat itu juga. Tidak lupa juga aku melampirkan 3 berkas yang sudah aku persiapkan dari rumah: foto kopi KTP, Kartu KK, dan ijasah. Setelah pengisian selesai, berkas diteliti oleh petugas. Ternyata masih ada tambahan: surat keterangan dari perusahaan tempat bekerja. Berkas tersebut bisa diserahkan bersamaan saat pengambilan pas foto, dua hari setelah pendaftaran.

Dua hari kemudian, saat pengambilan pas foto dan sidik jari. Namun sebelumnya ada sedikit wawancara dengan petugas berkaitan dengan pengisian berkas pendaftaran dua hari sebelumnya. Aku serahkan juga surat keterangan dari perusahaan yang diminta sebelumnya. Biaya yang diperlukan Rp. 275.000,-. Saat itu juga diinformasikan bahwa PASPOR akan selesai seminggu lagi.

Seminggu kemudian, aku datang. Datang pertama di pagi hari, petugas mengatakan belum selesai, sambil mempersilahkan untuk datang lagi jam 14.00 WIB. Datang kedua, jam 2 siang, benar memang PASPOR sudah jadi. Ketika memberikan PASPOR tersebut, aku diminta memfotocopy selembar untuk diserahkan kembai kepada petugas sebagai arsip. Aku tanya, apa di kantor ini tidak ada mesin foto copi (karena aku tahu tempat foto copy cukup jauh), dijawabnya mesinnya sedang rusak. Dengan terpaksa aku berjalan kaki cukup jauh, hanya untuk memfoto copy selembar PASPOR sebagai arsip!

Satu hal yang kurasakan saat mengurus PASPOR, pandangan dan pelayanan petugas saat melayaniku "berbeda" dengan pelayanan yang diberikan kepada orang lain. Apakah orang lain tersebut mengurusnya dengan sedikit "bantuan"?.

Senin, 09 November 2009

Cot Mue, Nagan Raya

Terletak persis di pesisir Samudera Indonesia. Tidak bisa membayangkan, betapa dahsyatnya tsunami yang terjadi di desa ini. Seluruh desa luluh lantak diterjangnya.

Pada saat itu ada wacana, relokasi tempat tinggal warga, karena sebaiknya perumahan dibangun berjarak yang cukup dari bibir pantai, untuk menghindari bahaya tsunami seandainya terjadi lagi. Maka disiapkanlah tanah oleh Pemerintah setempat untuk relokasi tersebut. Dan NGO kami berkomitmen untuk menyiapkan lahan tersebut untuk permukiman. Lahan dibersihkan, jalan akses masuk disiapkan. Sosialisasi dilakukan.

Gonjang-ganjing! Dalam perkembangannya, warga keberatan untuk relokasi, dengan pertimbangan: sekolah tidak ada, perubahan mata pencaharian; dari nelayan menjadi petani. Sesuatu yang sulit dilakukan. Terkatung-katung, molorrrrr.........hampir dua tahun.

Pada akhirnya, referendum warga dilakukan, dan hasilnya: warga memilih tetap tinggal di tempat yang lama! Dan dimulailah pekerjaan pembangunan rumah bantuan oleh NGO kami. Lancarkah....?


Tidak juga! Dalam pekerjaan konstruksi, perubahan dalam pelaksanaan adalah hal yang lazim. Setelah sebuah rumah contoh selesai dibangun, dilakukan evaluasi. Hasilnya: sebuah balok gantung yang tidak perlu bisa dibuang. Ketika hal tersebut disampaikan ke warga, warga menolak. Alasannya ? Sangat sepele: Rumah yang lainnya juga harus SAMA!

Teringat juga pada suatu ketika, di desa yang sama ini, Tim Pertanian akan memberikan sumbangan alat-alat pertanian. Hasil asesmen menunjukkan bahwa tidak seluruh warga mempunyai keahlian/pekerjaan sebagai petani. Ketika bantuan ini  ditawarkan pada musyawarah desa, warga meminta: satu warga diberi maka seluruhnya juga harus diberi! Terpaksa bantuan tidak jadi diberikan.

Kubang Gajah, Kuala Pesisir, Nagan Raya, NAD

Bandara Cut Nyak Dien, Nagan Raya, berlokasi di desa ini. Sebagian besar penduduknya keturunan suku Jawa. Hampir mirip desa-desa di daerah Banyumas.

Awal-awal pembangunan rumah permanen di sini, sungguh sulit. Penduduknya sangat kritis. Sampai-sampai KOmite Pembangunan bubar, gara-gara keluhannya tidak terpenuhi oleh organisasi kami.

Fase berikutnya, konyol! Sosialisasi yang kami laksanakan dengan menggunakan gambar yang salah. Kesalahan kecil memang, bentuk atap. Kemiringan atap yang seharusnya ke samping kiri dan kanan, tetapi di gambar menuju depan dan belakang. Padahal sebagian besar menyukai yang keliru ini. Celaka!

Alhamdulillah, dengan pendekatan permohonan maaf, akhirnya mereka mau menerima. Kami seringkali, saat inspeksi mendapatkan tawaran minum air kelapa muda gratis.

Satu hal yang sungguh sangat mengecewakan saya adalah ketidakberhasilan saya mengusahakan mebangun sebuah masjid untuk mereka. PAdahal dari awal, manajemen sudah setuju. Gak tahu kenapa, tiba-tiba saja manajemen membatalkan persertujuan tersebut. Sampai-sampai seorang panitia pembangunan masjid tersebut merajuk, tidak mau menempati rumah bantuan organisasi kami selama masjid tersebut belum terbangun.

Moga-moga saja, sekarang masjid tersebut sudah ada yang membangun, dan.....anggota panitia pembangunan masjid telah menempati rumah bantuan kami.

Ujong Drien, Meureubo, Aceh Barat

Rumah bantuan untuk korban tsunami siap untuk dibangun, setelah lebih dari setahun proses asesmen, verifikasi, dan sosialisasi. Syaratnya: 1) Tanah milik sendiri; 2) Rumah milik sendiri; 3) Ditinggali saat tsunami; 4) Rumahnya rusak berat. Beberapa galian pondasi telah dan sedang dikerjakan. Mendadak ada surat laporan, dua orang warga mendapatkan bantuan ganda, satu di Ujong Drien, satunya lagi di desa tetangganya.

Aku temui salah seorang warga tersebut,aku diskusi, dan memberinya kesempatan untuk memilih salah satu rumah saja, aku minta membuat pernyataan kewat surat. Beberapa hari menunggu tidak juga ada jawaban dari sang warga tersebut. Akhirnya aku stop pembangunan rumah tersebut, dengan alasan dia telah mendapatkan bantuan rumah di desa tetangga.

Sayangnya, Bapak Kepala Desa kembali meminta rumah tersebut untuk digantikan dengan warga lainnya. Digantikan orang lain? Kenapa orang lain tersebut kalau berhak mendapatkan rumah kok tidak tercantum dalam daftar kami. Kok bisa? Katanya hasil keputusan masyarakat. Aku tak kuasa menolaknya, pun demikian dengan organisasiku: juga telah menyetujuinya.

Minggu, 08 November 2009

Lamno, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya

Sebuah wilayah yang dikelilingi bukit-bukit dan gunung-gunung, dan berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Malam hari udara terasa dingin menusuk tulang, kabut menutupi bukit dan gunung. Kota kecamatan yang cukup enak untuk tetirah.

Keindahan dan kenyamanan Lamno baru dapat kita nikmati jika kita bisa mematuhi kaidah "dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung". Orang Lamno cenderung keras, mudah tersinggung dan bereaksi. Jika kita bertemu dengen mereka berilah salam serasa mengangkat tangan kanan, jangan pernah dengan tangan kiri! Hendaknya tidak memakai celana pendek di atas lutut, dan jika berlesehan: jangan selonjorkan kaki ke hadapan mereka. Hari kerja Kamis sampai dengan Rabu, tidak boleh bekerja di Hari Jumat. Di beberapa tempat, bekerja di hari Rabu akhir bulan, juga dilarang keras.

Kita dapat mendapatkan burung walet dan Udang karang di Ujung Seudheun, memancing ikan kolam di Panton Makmur dan Kampong Baro, dan menangkap udang di muara Gle Jong, sekitar Jembatan Mata Biru. Kalau ingin memancing ikan sungai lebih tepat di Kuala dan Teumareum. Ada juga yang mencari telur penyu di pesisir Kuala ini.

Satu setengah tahun aku di Lamno, begitu banyak kenangan yang kupetik. Saat mengerjakan proyek pengadaan jaringan air bersih dan sanitasi untuk 21 desa di Kecamatan Jaya (Lamno). Berkantor di Gle Putoh, tiap hari aku berkeliling di pelosok Lamno. Mulai dari Meudheun (di bawah Geurutee), Jambo MASi, belok ke kiri masuk Krueng Tunong, Ujong Seudheun, Kampong Baro, terus ke Gle Jong (Po Temerehom, Rumpit, Meunasah Tengoh, Meunasah Tutong, Meunasah Rayeuk dan sampai ke Ujungnya. Bali lagi Ke Babah dua, terus Kuala dan Teumareum.

Banda Aceh, berkesan #2

Komunitas Badminton. Selain untuk menjaga kesehatan, acara ini berfungsi untuk menambah persahabatan juga. Banyak teman-teman dari organisasi lain yang ikut bergabung dalam grup olah raga ini. Anggotanya kebanyakan adalah orang-orang rantau yang bekerja di di Aceh, sendirian, keluarganya ditinggalkan di daerah asalnya.

Di sinipun terlihat juga kebaikan hati teman-teman. Iuran bulanan, entah kurang entah tidak (saya sih yakin kalau kurang), tidak pernah sekalipun komplain untuk membuat addendum iuran. Tidak pernah sekalipun meminta untuk membayar iuran. Kita sendiri yang aktif membayar iuran di setiap awal bulan.

Dan....suatu ketika, seorang teman yang akan habis masa kontraknya, pulang kampung, berkata kepadaku:"Dua raket ini sebelumnya adalah pembelian dari kawan, saatnya akupun kembali berikan, kepadamu, untuk kamu pakai di latihan". Atau perkataan " gak usah beli, pakai aja bola cock saya!".

Seusai badminton, langsung cari minum atau makan siang, nongkrong, ngobrol rame-rame. Setelah rampung semua, giliran untuk bayar, kalau ada yang kelupaan bawa dompet, salah seorang teman cengan cepat akan berinisiatip membayarinya.

Banda Aceh, berkesan #1

Komunitas bersepeda ABC, memberiku banyak tambahan kawan. Ada yang benar-benar baru, ada yang sekedar bertemu kembali karena sebelumnya pernah satu atap sewaktu di Meulaboh. Waktu di Meulaboh, pemakai sepeda memang banyak, tapi tidak tegabung dalam sebuah komunitas. Ini berbeda dengan di Banda Aceh.

Hampir tiap hari Minggu, kami bersepeda melewati area-area baru, yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Di perjalanan inilah kurasakan adanya "humanitarian worker" antar sesama teman, saling memberikan makanan dan minuman, bantuan tatkala ada kerusakan, bahkan pemberian barang yang sebenarnya sangat berharga. Dengan gampang dan ikhlasnya "teman-teman" ini saling berbantu dan bertolong-tolongan. take and give each other..

Hal lainnya adalah kompak dalam menentukan suatu kegiatan, saling mendukung demi suksesnya kegiatan tersebut. Meski dalam kesehariannya, saling ejek, saling maki dan saling meminta untuk ditraktir. Seringkali, bahkan, sudah memberikan barangnya duluan, padahal kita belum memintanya!

"SBY ini CD foto kegiatan kemarin, ambil aja! Aku udah ada kopinya kok".

Namun ada juga yang sesekali usil mengerjai. Yang tak akan kulupa adalah saat aku dikerjai diajak bersepeda. Bilangnya sih cuman muter-muter di dalam kota. Eeee tak tahunya: naik Mata Ie menuju Lhok Nga! Membuatku tertidur pulas di pantai Lhok nga saat beristirahat.

Rabu, 04 November 2009

Bicycle is my Life survival

Sepeda sudah menjadi bagian perjalanan hidupku semenjak dari kecil, life survival. Mungkin bagi banyak orang dia merupakan life style.

Di usia kelas 2 SD, aku sudah mengayuh sepeda, menjalani jalan berbatu dari Sedan menuju Narukan (10 km-an), Kragan, tempat pamanku tinggal. Berangkat bawa perut, pulang bawa beberapa buah degan (kelapa muda). Perjalanan pulang yang menyiksa, karena berkali-kali menggilas jalan berbatu, berkali-kali pula degan tersebut terjatuh, lepas ikatan atau putus talinya.

Usia SMP, selain tiap hari naik sepeda, aku pernah dengan teman-teman bersepeda menuju Lasem (25 km) pulang pergi hanya untuk berfoto, "pas foto" untuk kartu ujian. Hampir tiap akhir pekan, aku main ke rumah teman: Kedung ringin, Jambeyan, Gandri, Dadapan, Pacing, Ngulahan bahkan sampai ke daerah Kalipang, dekat Sarang.

Kala SMA, penuh memoria, karena berhasil "mengajak" teman jadi bersepeda, yang sebelumnya terbiasa naik sepeda motor.

Kuliah sarjana, aku sempat beli sepeda, tapi sayang tidak banyak berguna, karena banyak rusaknya. Cukup sesekali saja.

Kuliah S2, kembali aku pakai sepeda! Walau kali ini sepeda pinjaman adik, aku ckup bahagia.

Dan di Banda.......dengan sepeda kutemukan artinya: tidak sekedar alat perjuangan hidup semata!

Cicak vs Buaya

Di TV, ramai memperbincangkan pertikaian para penegak hukum di negeri ini. Dua orang yang berusaha mencekal terduga koruptor, ditahan dengan alasan penyalahgunaan wewenang. Belakangan dakwaanya diubah menjadi penerimaan suap, itupun juga tak kelar-kelar BAP-nya.

Di persidangan MK, jelas dan gamblang adanya skenario "pencorengan" penegakan hukum di negeri ini. Sang pemilik suara sudah mengakui, dan seluruh warga pun melihatnya, sangat telanjang!. Mulai dari skenario kriminalisasi, penyerahan upeti "duren", dan ancaman sampai mati. Namun sang penegak tidak juga menahannya, belum menemukan bukti awal, alasannya.

Dimanakah rasa keadilan ini...?

Esok pagi, ketika aku mengurus paspor di imigrasi, sebelum proses foto diri. Petugas administrasi menyatakan ada biaya sebesar Rp.280.000,-. Aku sodorkan uang Rp.300.000,-. Lalu dia memberiku kembalian Rp.15.000,- dengan tanpa kuitansi..................

Oh.........negeri ini...................???????

Wesel Pos

Dua kata, mungkin sangat aneh bagi anak-anak jaman sekarang. Tapi jaman kuliah dulu, tiap tanggal muda, di Pogung (JTS dulu), aku selalu mengecek daftar tersebut lewat jendela TU. Kadang dijadikan oleh teman-teman untuk menodong minta traktiran, ketika bilang " Weselmu wis teko!" Kiriman uang tercanggih saat itu ya "WESEL POS".

Suatu ketika, hampir tiap hari aku mengecek tulisan di jendela tersebut. Sudah menginjak bulan kedua, masih belum muncul juga. Karena sudah tidak "tahan", terpaksa aku pulang ke rumah di Sedan, Rembang, minta tambahan "gizi", dan setelahnya kembali ke jogja, bukti kiriman wesel dari orang tua aku bawa serta.

Aku urus di Kantor Pos Kampus, aku tunjukkan bukti kiriman. Valid, wesel sudah pernah singgah di Kantor Pos ini, dan sudah dikirimkan ke Fakultas Teknik. Kemudian aku cek di Fakultas, nah...............baru ketahuan: ternyata weselku dikirimkan ke Jurusan Teknik Mesin! Salah ekspedisi rupanya! Lega rasanya, tinggal nunggu waktu saja, sambil bersabar.

Memang benar, setelah beberapa waktu: tulisan "Sri Susilatama" tercantum di jendela TU.

Selasa, 03 November 2009

Sesal tiada guna

Waktu itu masih belum punya adik, bontot dari empat bersaudara, awal tahun ajaran baru di Kelas 3 SD. Aku merengek-rengek pada Ibu, minta uang untuk beli buku pelajaran.

Entah kenapa, tiba-tiba Bapakku datang memberiku uang sambil sedikit marah. Mungkin Beliau mendengar rengekanku, dan dengan terpaksa memenuhi keinginanku.

Di Pasar, aku mendapatkan buku keinginanku, Buku Pegangan Mata Pelajaran. Aku bawa pulang, membaca-bacanya. Senang hatiku saat itu. Terima kasih ya Pak!!!!

Pelajaran sesungguhnya dimulai, aku terkejut! Buku Pegangan ternyata telah diganti. Masya Allah..........

Sesal hatiku tiada guna. Maafkan anakmu Pak!

bermaksud membantu, malah membuat duka

Malam hari, belum ada penerangan listrik dari PLN waktu itu. Di sekolahku ada peringatan Maulid Nabi. Letaknya di belakang rumahku, tidak jauh, namun cukup gelap. Kalau tidak salah, akumasih duduk di kelas 1.

Usai acara Maulidnya, aku beraksud membantu Ibu, membawakan barang-barang perlengkapan konsumsi acara tersebut. Aku membawa se-ember gelas kaca. Tidak berat, tapi gampang pecah!

Di pertengahan jalan ke rumah, karena gelap, aku tidak membawa senter, hanya mengandalkan ketajaman mataku semata, aku tersandung seonggok akar pepohonan. Braakkkkkkkkk!!!!!! aku terjatuh! Aku coba meraba-raba gelas-gelas bawaanku yang berserakan. Beberapa kutemukan, sebagian besar sudah pecah, sedikit saja yang masih utuh.

Sesampaiku di rumah, aku merasa bersalah sekali.................walau ibuku tiada mempersoalkan gelas-gelasnya yang pecah.

aku hilang

Kelas dua SD, pulang sekolah aku langsung ikut temanku ke rumahnya, desa tetangga,berjalan kaki, tanpa memberitahu Bapak ibuku terlebih dulu. Jaraknya cuman 1 KM-an memang......

Dari pagi sampai sore hari, aku di rumahnya: bermain, mandi di sungai, termasuk makan siang dengan nasi jagung di rumahnya. Temanku satu ini memang menyenangkan. Anaknya pinter, tidak nakal, dan mau mengalah. Pokoknya membuatku betah main dengannya, seharianpun!

Petang hari beranjak. Akupun pulang, tetap dengan berjalan kaki, ke rumahku. "Kemana saja kamu seharian? Bapak, Ibu dan seluruh anggota keluarga mencarimu sampai putus asa!" Sapa Ibuku pertama kali begitu sesampaiku di rumah. Aku masih kecil saat itu, tidak tahu bagaimana perasaan orang tua kalau kehilangan anaknya.

Sekarang, karena aku sudah menjadi seorang ayah, barulah bisa merasakan bagaimana rasanya Bapak-Ibuku waktu itu..................... Maafkan aku Bapak.......Maafkan Aku Bu.........

Senin, 02 November 2009

mBah Kakung, Ayah keduaku

Sungguh bahagia jika kita mempunyai ayah yang sangat menyayangi kita. Apalagi tidak hanya seorang, tapi "dua" orang.

Waktu kecil dulu, aku mempunyai seorang saudara jauh, mBah Kakung, yang sangat menyayangiku. Aku sering diajaknya bepergian ke luar kota. Pernah, aku selama beberapa hari dengan beliau, di Blora, sendirian, tanpa kedua orang tuaku. Saat aku kecil mencapatkan kecelakaan, aku menjatuhkan lampu tempel (teplok) yang mengenai tepat di keningku, beliaulah yang menggendongku, mengantarkanku ke Pak Mantri Kesehatan.

Ketika aku dikhitan, waktu itu beliau sudah pindah ke luar kota, aku minta kepada kedua orang tuaku untuk mendatangkan beliau, supaya dia yang me"mangku"ku. Waktu itu, sara berkhitan, adalah dengan cara dipangku, dan dieksekusi oleh seorang yang dipanggil "Pak Calak". Beliau menyempatkan datang, hanya untuk me"mangku"ku.

Ketika aku kuliah, beliau berpindah lagi keluar kota, yang semakin jauh dari kotaku, yaitu di Ngawi. Pada suatu kesempatan liburan, dengan hanya berbekal nama beliau dan nama desanya, aku berangkat untuk mengunjungi beliau. Secara kebetulan, sekali lagi "kebetulan", aku menemukan beliau, karena belum pernah sekalipun aku sebelumnya pergi ke sana. Tempatnya pelosok, Ngrambe, Jogorogo, Ngawi. (Mungkin aku salah sebut, karena sudah lupa). Kutemukan beliau, sudah sangat tua, tapi alhamdulillah masih mengingatku. Sungguh senang hatiku, bisa bertemu kembali dengan orang yang sangat menyayangiku kala ku kecil.........

Sayang......itulah saat terakhir kalinya aku bertemu kembali dengan beliau, sampai sekarang. Semoga mBah Kakung bahagia di alam baka sana...........

Minggu, 01 November 2009

mengalir tapi tak hanyut


Pertama kali bergabung dengan yang namanya NGO ya di kota Meulaboh, Aceh Barat ini. Penampilan tidak penting, kejujuran dan pengabdian pada kemanusaiaanlah yang mejadi kunci. Pada saat itu adalah awal-awal jabatan Pak Susilo Bambang Yudhoyono memangku jabatannya yang pertama. Baru sekitar dua bulan, Aceh dilanda gempa dan tsunami.

Jadilah aku sebagai seorang tenaga kemanusiaan, di pesisir barat Aceh, Kabupaten Aceh Barat. Tiap kali datang di desa, orang-orang selalu memanggilku SBY, karena pada saat perkenalan aku memperkenalkan diriku sebagai "Susilo". Wah perlu akal nih, untuk mengakomodir memori orang desa ini. Akhirnya ketemu: "B"nya aku ganti dengan "Bukan", tidak lagi "B"nya sebagai"Bambang". Aku juga sedikit membetulkan singkatannya "eSBeYe" menjadi "eSBuYe", supaya kepanjangannya Susilo Bukan Yudoyono!.

Di tingkat Desa, kita harus bisa menempatkan diri kita, membiarkan diri kita mengalir seperti air. Kita akan sulit menentang aliran, lebih mudah mengikutinya sambil sesekali mengarahkan gerakan badan kita agar tidak 100% menjadi "terhanyut" di air.

Grantung, Bayan, Purworejo

Kuliah Kerja Nyata, tahap akhir penyelesaian gelar sarjana. Kami, dua orang cewek, dan tiga orang cowok, mendapatkan lokasi di Desa Grantung, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Persis di sebelah Barat Termina Purworejo sekarang ini.

Sebagai desa panghasil tahu, limbah cairnya sungguh sangat menggangu. Air sumurpun menjadi putih seperti santan air kelapa. Tiap hari, selama dua bulan, air itulah yang selalu membersihkan badanku, mengisi perut kedahaanku. Menu makan tiap hari selalu muncul "tahu' dalam berbagai variannya: oseng-oseng, semur, bacem, ataupun sekedar digoreng.

Anggota unit lainnya: Bayan, Besole, Bandung Kidul, Bandung rejo dan Dukuhrejo, kami dari enam desa ini lumayan kompak. Kegiatan di tingkat Kecamatan yang paling berkesan adalah: Pelatihan kerajinan pandan, bougenvilisasi pinggir jalan, lomba beberapa cabang olah raga, peresmian patung pak Ahmad Yani yang dihadiri seluruh anggota keluarganya dan Pasar murah. Dari kegiatan pasar murah, kami mendapatkan kelebihan dana. Sepakatlah, untuk kami gunakan berwisata.

Dengan mencarter 2 buah bus mini, kami berangkat ke Cilacap. Tujuan pertama adalah gunung Srandil, dengan latar obyek keindahan alam, laut dan gua. Sehabis itu kami naik kapal untuk mendekati pulau Nusakambangan, tempat narapidana kelas kakap ditahan.

Di akhir KKN, kami membuat juga kaos kenangan dan sebuah ALBUM.

Masa akhir kuliah yang sulit


Sungguh berat beban yang harus ditanggung Bapak-ibuku. Tidak mungkin aku akan bisa menyelesaikan kuliahku kalau tanpa ada altenatip pembiayaan lain. Apalagi di tahap akhir ini perlu tamabahan suntikan untuk pelaksanaan penelitian sebagai bahan skripsi. Alhamdulillah dengan segala usaha, aku dapatkan alternatip tersebut: Bea siswa Ikatan Dinas, dan Penelitian nebeng ke Penelitian Dosen.

Berat nian.....tapi akhirnya selesai juga dalam waktu lebih dari 6 (enam) tahun. Wisuda dihadiri keluarga dan calon isteri.

Bukannya kapok, aku kuliah lagi setelah 5 tahun bekerja, melanjutkan ke jenjang S2. Krisis ekonomi kala itu, aku memanfaatkan tabunganku. Daripada nganggur gak ada proyek, mending aku ngelanjutin kuliah. Tiga semester awal lancar, seluruh mata kuliah telah selesai. Giliran akan penelitian untuk thesis, bekal sudah habis.Wufffffff kesulitan yang harus segera aku tangani.

Terpaksa harus bekerja dan menabung kembali. Untung perekonomian sudah recovery, proyek sudah mulai bermunculan, dan aku mendapatkan posisi. Setelah dua kali ikut proyek, akhirnya aku mendapatkan bekal kembali. Dan.....thesis akhirnya dapat aku selesaikan, S2 memerlukan waktu 4 (empat) tahun. Wisuda dihadiri keluarga dan 2 orang jagoan kecil.

Terpesona, tersesat dan terjebak


Akhir tahun 2009, akhir tahun kebersamaan para pekerja kemanusiaan di Serambi Mekah. Kami berempat, keliling-keliling Aceh, sebagai acara perpisahan.

Pagi hari yang cerah, berempat, menaiki dua "kereta". Jantho, Aceh Besar, merupakan tujuan pertama. Kami menuju ke sebuah dam irigasi. Udara masih terasa dinginnya, hijau masih kelihatan di setiap bukitnya, Subhanallah....., TERPESONA aku melihatnya.

Berikutnya, setelah lewat Seulimun, kami menuju ke arah Lampanah. Di sepanjang jalan, kami masih bisa menikmati keindahan alamnya. Tapi, gerimis mulai menyirami jalan yang aku lewati. Gerimis kadang menjelma menjadi hujan. Walau memakai jas hujan, baju dan celana tetap saja menjadi basah karenanya. Sementara matahari mulai menuju ke peristirahatanya, kami tak juga menemukan jalan menuju ke Banda. Lewat sebuah kompleks militer, kami diperiksa, kamera di dalam tas tak luput dari investigasinya. Sang tentara bilang ini adalah daerah GAJAH KENG, sangat terkenal keseramannya sewaktu konflik menimpa. Kami ditunjukkannya jalan pulang menuju Banda.

Waktu sudah menjelang maghrib. Kami masih tetap muter-muter saja, belum menemukan jalan sesungquhnya. Tibalah kami di tepi pantai, tapi kok berada di sisi kiri, seharusnya kalau jalannya benar, pantainya berada di sisi kanan! Kami TERSESAT.

Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya kami sampai juga di Daerah Krueng Raya, jam 9 malam. Hujan masih juga menerpa. Kami berhenti sejenak, makan dan minum di sebuah kedai, di dekat Pelabuhan Malahayati. Hujan semakin membesar! Bahkan tak lama berselang, banyak warga berlarian di jalan membawa anggota keluarga untuk mengungsi di tempat yang aman. Ooooo banjir rupanya, kami TERJEBAK.

Setelah menunggu beberapa lama, dan sedikit memberanikan diri melewati derasnya aliran air, Alhamdulillah sampai juga kami di Banda, jam 12 malam lebih kurangnya!

Tamparan kasih sayang


Cuaca memang sangat panas kala itu, sehabis pulang sekolah dari SMPN Sedan, aku tinggal sandal sepatuku sembarangan.

Bapak pulang dari mengajar, kepanasan juga tentunya. Ditambah lagi, mungkin, persoalan di sekolahan. Panas, emosinya memuncak tatkala melihat sandal sepatu yang ditaruh sembarangan. Diambilnya sandal sepatu tersebut, dan ditamparkannya di pipi kiriku. Prakkkkkk!!! Aku merasakan nyeri di pipi. Aku salah. Semenjak saat itu, aku mulai berlatih mendisiplinkan diri, menaruh segala sesuatu pada tempatnya.

Bapakku memang keras. Pernah suatu ketika, kakak-kakakku bertengkar. Lalu masing-masing diberinya tongkat satu-satu, dan disuruhnya untuk melanjutkan pertengkaran agar lebih seru. Mereka berdua urung, tak jadi bertengkar.

Tapi, kekerasan hatinya diselingi dengan kasih sayang terhadap anak-anaknya. Membuatkan alat permainan, mengajak latihan badminton, catur, melatih menggambar, dan....mengajariku cara naik EGRANG. Satu hal yang tak kan pernah kulupa adalah takala aku lolos dari SIPENMARU. Sehari setalah pengumuman, aku diberi uang untuk membeli sepatu baru guna persiapan untuk menjadi seorang mahasiswa baru. Padahal sebelumnya: tidak pernah sekalipun memberiku uang, tanpa aku minta sebelumnya!

gara-gara akik

Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...