Kamis, 26 Agustus 2010

kerja dan uang

Sebagian besar orang: bekerja "hanya" untuk mencari uang. Hanya sebagian kecil orang  yang bekerja "sebagian" untuk mencari uang.

Selasa, 17 Agustus 2010

ngGali perangkap untuk diri sendiri

Sebagai perantau, tiap kali datang ke tempat baru, selalu saja diminta untuk mengutamakan "Putera Daerah". Permintaan datang dari pejabat setempat ataupun warga setempat itu sendiri. Kalau permintaan dari pejabat sih, memang sudah standar, tidak ada yang aneh-aneh. Tetapi kalau permintaan dari warga sendiri, biasanya: aneh, mengejutkan bahkan memaksa!

Setiap ada kesempatan untuk memakai sumber daya, memang yang pertama kali aku tawari adalah warga setempat. Tawaranku tetap mempertimbangkan faktor ekonomi. Kalau tidak ekonomis, ya mohon maaf, aku akan mencari sumber daya ke tempat lain yang lebih ekonomis. Kesempatan pertama, ketika aku tawarkan kepada penyuplai lokal tidak ada kata sepakat, warga setempat tidak mau menurunkan harga. Dengan terpaksa, aku mencari ke tempat lain, Alhamdulillah: mufakat alias deal!

Begitu proyek mulai, terlihat ada sumber daya dari luar, warga setempat tidak terima. Mengancam akan menyetop pekerjaan. Selain itu juga mengintimidasi penyuplai dari luar tersebut. Terpaksa aku rundingan lagi dengan warga setempat, alhamdulillah terdapat mufakat: mereka mau menurunkan harganya, harga yang sama dengan penyuplai dari luar tersebut.

Tidak hanya sampai di situ, entah karena serakah atau iri, bau kebencian terhadap penyuplai dari luar masih tercium. Tiba pada suatu saat, mereka menyetop penyuplai dari luar tersebut. Dalihnya: penyuplai dari luar harus membuat kesepakatan dengan desa setempat untuk memberikan sumbangan "X rupiah" setiap truknya, dimana hal yang sama, menurut penyuplai lokal ini telah mereka lakukan. Dengan bangganya mereka tunjukan Surat Kesepakatan tersebut. Gemparrrrrrrrrrrr!!!

Terpaksalah, MUSPIKA turun tangan mencari tahu dan memecahkan permasalahan. Semua yang terlibat dikumpulkan. Bapak Kepala Desa mengakui memang ada himbauan dari desanya untuk para penyuplai agar menyisihkan sedikit keuntungan kepada desa, sekedarnya, tidak ada paksaan, apalagi dengan jumlah tertentu. Penyuplai dari luar menyanggupi, dengan suka rela, akan memberikan sumbangan "kurang dari X rupiah". Penyuplai lokal? Mungkin karena terlanjur malu, memalsukan surat tersebut, dengan nada datar "tidak menolak" untuk menyumbang dengan harga "X rupiah".

Alamaaak.......... menggali perangkap untuk orang lain, eh diri sendiri yang kena!

Sabtu, 14 Agustus 2010

Bantuan.....?

Seringkali saat kita berkendara, entah itu naik sepeda motor, atau mobil, umum ataupun pribadi, di tengah perjalanan tiba-tiba kita distop, atau setidaknya diminta untuk mengurangi kecepatan oleh sekelompok orang sekedar untuk dimintai sumbangan uang, entah itu saat ada genangan air, jalan berlobang, perbaikan ataupun pembangunan jalan/jembatan, sumbangan bencana alam bahkan mungkin pembangunan tempat ibadah.

Untuk pembangunan tempat ibadah khususnya masjid, tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah, kalau kebetulan lokasi masjid terletak di pingir jalan raya, kemudian Panitia Pembangunan lantas "menghadang" arus lalu lintas untuk sekedar meminta bantuan, mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid tersebut. Sejauh ini, MUI tidak/ belum mengeluarkan fatwa mengenai kegiatan tersebut.

Sebagai orang awam, saya merasakan ada suatu "keanehan" dalam kegiatan tersebut. Seingat saya, Nabi besar Muhammad SAW, sewaktu ada pembangunan masjid, beliau turun tangan sendiri, ikut mengangkat batu, terjun langsung dalam proses pembangunannya. Saya yakin, seandainya waktu itu Nabi Muhammad SAW, minta bantuan uang "door to door", dengan mudahnya uang akan terkumpul sangat banyak. Namun seperti yang kita ketahui, hal tersebut tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Kenapa beliau tidak melakukanya, karena pasti dengan suatu alasan yang sangat kuat.

Sekarang.....? Sebagian orang lebih memilih untuk duduk-duduk di atas kursi, di pinggir jalan membawa kantong uang dan menyetop kendaraan lalu meminta uang! Mengapa harus dengan cara begini? Tidakkah kita berpikir bahwa sebagian pengguna jalan adalah umat non muslim, yang berburu waktu dan tidak mau kehilangan sedikitpun waktunya dalam berkendara?

Minggu, 01 Agustus 2010

kondangan jawa di Borneo

Menjadi pendatang di lingkungan yang baru, harus mau mengikuti adat istiadat setempat. Tapi adat-istiadat setempat di tempat yang baru masih seperti di tempat asalku, bahkan malahan lebih kental daripada yang aku miliki. Barangkali karena aku yang telah luntur, ter-aus-kan oleh pendidikan dan pengembaraanku.

Suatu malam, aku harus mewakili tim-ku untuk menghadiri kondangan di tetangga kontrakanku. Acaranya adalah dalam rangka mendoakan sang putera yang telah meninggal setahun lalu. Aku sebenarnya sedikit keki, karena cuman bersarung dan berkoko tanpa peci, sedangkan para hadirin hampir semuanya berpeci. Seperti di tempat asalku, bacaannya adalah Surat Yasin dan Tahlil, dengan perbedaan di "lagu" dan "dialek"-nya saja.

Yang benar-benar berbeda adalah sajian untuk para hadirinnya! Di samping tersedia nasi bungkus, terdapat tiga wadah khusus, satunya berisi ayam utuh, satunya lagi adalah nasi uduk dan terakhir adalah sekaleng bebungaan. Begitu seluruh bacaan telah selesai, satu orang berinisiatip memotong-memotong (lebih tepatnya: mematah-matahkan ayam utuh menjadi bagian kecil-kecil) untuk dibagikan dan ditambahkan ke dalam nasi bungkus para hadirin. Sedangkan bunganya, sampai acara selesai tidak di"apa-apa"kan.

Yang membuat saya heran adalah karena kondangan tersebut dilaksanakan di Lok Tabat Selatan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dan masalah bunga, aku belum pernah menemukan sajian bunga dalam sebuah kondangan di tempat asalku! Apa karena para perantau lebih "kuat" dalam menjaga tradisi ke-jawa-annya dan masyarakat sekitarku sudah meluntur tradisinya, ataukah tradisi jawa telah di"padu"kan dengan adat Borneo?

Jumat, 30 Juli 2010

Lintas Andalas 2010


dari Banda Aceh naik Bus Kurnia Rp. 130.000,- cukup nyaman. Cuman diperjalanan, digeledah Polisi sebanyak 5 kali, membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Apakah tidak bisa, kalau sudah diperiksa lalu diberi sertifikat "FREE" biar tidak usah diperiksa lagi, apalagi sampai lima kali!
Tiba di Medan sudah ada yang menjemput, seorang teman sewaktu kerja di Meulaboh. Lalu foto2 di Masjid Raya Medan, terus ke Istana Maimoon (tidak tertarik sesi foto), terus makan soto Medan di Brigjen Katamso. Habis itu pulang ke rumahnya, di Marelan, Medan Utara. Tidur nyenyak seharian.
Malam harinya nyari Mie Pak Nazarudin, bumbu petis udang, diberi sambal 2 sendok!!! Ditemani Bandrek. Lumayan, hangat. Habis itu makan sebuah Durian, berdua! Pulang, dan tidur.
Esok paginya, berkemas berangkat keluar rumah, pamitan dengan handai taulan tuan rumah, mencari tiket bus ke Bukit tinggi. Tujuan utama, ANS, sayang.... keburu habis, rencananya kalau ada mau milih yang kursi 1-2, dengan harga Rp.230.000,- Lumayan nyaman seandainya dapat. Lalu aku mencari ke Kurnia, harga Rp. 140.000,- Salahku tidak nanyak rute duluan, ternyata lewat JALINTIMSUM, padahal aku pengin yang lewat tengah: Padang Sidempuan - Panyabungan. Pemandangannya lebih elok katanya. Kalau JALINTIMSUM, pemandangannya cuman kebon kelapa sawit dan karet.
Bus yang aku tumpangi, berangkat jam 12.00 WIB, fisiknya "tidak menyamankan", di tengah perjalanan masih menaikkan penumpang dan barang. Berhenti di RM Idaman, Simpang Kawat, Asahan, seporsi Rp. 17.000,- berupa Nasi putih, sayur nangka dan sepotong ikan pari. Pantes konsumennya sepi!
Perjalanan terhitung lancar, meski kondisi jalannya sendiri kurang bagus, banyak benjolan, tidak rata. Beberapa kali berhenti untuk memberi kesempatan para penumpang: buang air dan sholat.
Di sepanjang jalan diramaikan baliho CABUP, untuk PILKADA lokal. Di Kabupaten Asahan, terdapat baliho "WES WAYAHE Hj Hermiyati memimpin Kab, Asahan...", membuatku terkejut dan heran. Balihonya kok pakai Bahasa Jawa?
Ada juga pemandangan aneh, di pinggir jalan, malam-malam, dua orang lelaki sedang menunggui kuburan (masih baru) sambil mengaji, kalau gak salah di sekitar Kisaran. Budaya lokal kayaknya. Pemandangan tidak luar biasa, sampai di Pekan Baru sekitar jam 05.00, keesokan harinya. Mulai dari Pekan Baru ke Bukit Tinggi inilah pemandangan kelihatan lebih menarik. Sungai di kanan-kiri berkelok-kelok, pepohonan aneka rupa membuat teduh. Bus sempat mogok, ketika habis Payakumbuh, mau naik ke Bukit Tinggi. Sebentar. Sampai di terminal Bukit Tinggi, sopir taksi bernama Adang, telah menjemputku menawariku transaksi dan memberi alternatip pilihan hotel. Kupilih di Hotel Galery, Rp. 150.000,- semalam.
Sore harinya, langsung berburu Nasi Kapau Tek Syam, informasinya kuperoleh dari Blog, di pasar atas, dekat dengan Jam Gadang, kutemukan. Sayangnya ketika mau pulang terhadang hujan, sehingga terpaksa menunggu cukup lama di emperan toko. Karena hujan kayaknya tidak mau berhenti-henti juga, aku pilih naik Andong/dokar untuk pulang ke Hotel. Walau aku tahu jaraknya sangat dekat, tapi berhubung hujan, aku terpaksa menyetujui harga Rp. 15.000,- naik andong menuju ke hotel.

Malam harinya membuat kesepakatan dengan pak Adang: harga dan tempat-tempat kunjungan di sekitar Bukit Tinggi.
Paginya jam 8 tepat, aku sudah berangkat hunting di Buit Tinggi. Titik pertama adalah Ngarai Sianok dan Benteng Jepang. Hari masih pagi, lokasi masih lumayan sepi.........
Selanjutnya, obyek kedua adalah Rumah Kediamana Mantan Wapres kedua: Dr Moh Hatta. Rumah bersejarah ini dijaga oleh pemandu, yang sudah lama (menurut pengakuannya) belum juga diangkat menjadi PNS, masih honorer. Ada ruang tamu, tempat tidur paman, pakde, ayah angkat, dapur, istal, dan ruang belajar/kerja bung Hatta. Dilengkapi juga foto-foto orang-orang terdekat Bung Hatta.

Kemudian menuju ke kota Batusangkar, tempat Istana Pagarruyung berada.Di tengah jalan melewati tempat melihat panorama yang bagus namanya "Tabek Patah". Sesampainya di Batusangkar, sayang, akibat kebakaran, istana ini belum selesai dipugar. Pada hari itu, tepat dengan penobatan Prbaowo Subianto yang mendapat gelar kehormatan setempat.

Habis dari Batusangkar, menuju ke Danau Singkarak, makan siang di tepian danau tersebut. Kemudian menuju ke "Pande Sikek", tempat pembuatan kerajinan tenun di Bukit Tinggi. Kemudian menuju ke Maninjau, kelok 43. Tidak sampai di tepian Maninjau, karena terlalu jauh.

Terakhir adalah singgah di Ngarai Sianok.

Dari Bukit Tinggi perjalanan darat berikutnya adalah menuju kota Palembang. Aku rencanakan naik bis ANS, tempat duduk 2-1. Setelah membayar Rp 200.000,- e lha kok bis-nya tidak nongol, alasannya kurang penumpang. Terus aku dioperkan untuk naik bis Bintang Kejora, dengan tempat duduk 2-2, kondisinya lebih jelek, tidak nyaman. E tidak ada pengembalian biaya sama sekali.

Sebelum berangkat aku bertanya kepada pak Sopir, kira-kira sampai di Palembang jam berapa. Karena kalau sampai Palembang malam hari, aku harus mengantisipasi dengan mencari tempat turun yang aman. Informasi yang saya dapatkan, keamanan di Palembang tidak mendukung. Aku meminta diturunkan di Rumah Makan *****, tidak berani di terminal. Pak Sopir menjawab bahwasanya dia tahu Rumah Makan ***** tersebut. Lega sudah perasaan.

Di perjalanan, memang pak Sopir mengemudi dengan nyaman, tetapi tiba-tiba dari arah depan ada sebuah truk yang menyiap mobil di depannya dengan jarak yang amat dekat sekali, nyaris bertabrakan dengan bis kami, tinggal berjarak 0,5 meter saja!!! Bis juga mengalami pecah kaca jendela, ketika melewati jalan berlubang. Tiba-tiba, kaca pecah sendiri. Saat berhenti makan di sebuah rumah makan di Musi Banyuasin, krew bis menyembatkan untuk menambal kaca jendela dengan plastik. Menjelang masuk kota Palembang, aku bertanya ke pak Sopir, apakah rumah makan tujuanku masih jauh. Mendapatkan pertanyaanku, e lha kok berubah jadi tidak tahu! Yo wis, terpaksa aku turun di ujung jalan lingkar, sambil menelpon temanku untuk meminta jemputan.

Di Palembang, pertama kali, aku langsung diajak mencoba pempek asli, dan malam harinya makan ikan patin di cafe pinggiran Sungai Musi. Aku sempatkan foto-foto di Sungai Musi dan Pasar 12 ilir Palembang. Dua hari di Palembang, aku lalu naik Jetfoil menuju BABEL, dilayani pramugari yang cantik, kinyis-kinyis, turun di Mentok, naik bus mini 7 jam menuju kota KOBA, Bangka Tengah.

Selasa, 27 Juli 2010

Diramal kerja di Bumi Borneo


Sesaat setelah boarding, pikiranku menerawang ke masa silam....kala itu sekitar tahun 1997, dua tahun setelah perkawinanku, di jalan toddopuli raya 77, panakukang, ujung pandang, kantor sekaligus mess tempat tinggalku. Seorang remaja lulusan STM Pembangunan, yang membantuku dalam survey pekerjaan sipil, berceloteh seolah-olah seluruh ucapannya tidak dikehendaki dari pikirannya. Sambil mondar-mandir, ke ruang depan, masuk lagi ke ruang belakang, dan kembali lagi ke ruang depan tanpa henti. Setiap kata, seluruh kalimat yang dikeluarkannya, aku dengarkan, datar, tanpa reaksi apapun, baik itu setuju ataupun menolak.
Seolah tidak ada rem yang bisa mengunci mulutnya, terus saja ia mengeluarkan kalimat-kalimat yang menceritakan kehidupanku di masa depan. Menurutnya dia hanya menceritakan apa-apa yang dia lihat di sebuah buku, cerita bergambar yang samar-samar, yang dengan keterbatasannya, ia lihat, lalu ia ceritakan kepadaku. Beberapa diantaranya adalah: bahwa aku kelak akan "hidup" di Kalimantan, dan punya anak tiga orang.
Lama sudah peramalan itu berlalu. Bahkan akupun telah berganti pengabdian, keluar dari perusahaan yang lama, berganti dengan yang baru. Aku juga sempat terlempar ke ujung barat Indonesia, yang semakin menghapus ramalan itu.
Sekejap, aku terkejut, ketika sang pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi akan mendarat di Bandara Syamsuddinnoor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Antara percaya dan tidak, aku turuni tangga pesawat, 'tuk memulai kehidupan "proyek"ku dengan durasi 2 (dua) tahun, sambil membayangkan ketiga jagoan-ku yang aku tinggalkan nun jauh di sana, di Rembang, Jawa Tengah.

Kamis, 18 Februari 2010

Jerih payah orang tuaku

Guru SD, itulah pekerjaan bapakku. Lewat syair "Omar Bakri"-nya Iwan Fals, kita sudah tahu kondisi seorang guru kayak apa. Ibuku, seorang ibu rumah tangga biasa, namun perjuangannya sangat luar biasa. Kami berlima bersaudara, itulah yang harus ditanggung kedua orang tuaku.

Beban hidup mulai sangat terasa, ketika aku menginjak SMP, yang artinya ketiga kakakku: ada yang di tingkat SMA, dan Perguruan Tinggi. Untungnya kakak pertamaku (Peremmpuan) sudah tamat dari PGA (Pendidikan Guru Agama), tengah wiyata bakti di suatu SD.

Mulailah kegetiran dan kesulitan hiduo keluargaku itu dimulai. Mulai; membuka indekos untuk guru atau pegawai, jualan peyek kacang, sampai dengan jualan koran bekas. Kadang-kadang kalau ada satu event di tingkat kecamatan, ibuku ikutan berjualan nasi pecel. Beruntung lokasi SMP-ku dekat. Tahun pertama masih di sebelah rumah, cuman jalan kaki. Tahunkedua dan ketiga pindah cukup jauh, tapi masih bisa kugapai dengan naik sepeda. Karena tahu kondisi keluargaku, sangat jarang aku mendapatkan uang saku dari orang tua. Beruntung banyak teman-teman SMP yang baik hati, kadang-kadang aku mendapatkan traktiranya.

Naik ke jenjang SMA, lebih berat lagi beban orang tuaku. Aku harus kos di kota. Sewa kamar lebih tepatnya, karena aku dengan pamanku, satu kamar, sepakat "memasak sendiri". Masih ingat dengan jelas dalam benakku, tiap minggu aku pulang ke rumah, baliknya ke kota aku selalu dibawakan lauk, yang bisa aku gunakan untuk 2-3 hari. Mulai dari kering tempe, bumbu pecel, gudeg gori atau ikan asin. Dalam satu rumah, waktu itu ada tiga grup, yang masak sendiri.

Grup pertama aku dan pamanku, grup kedua teman-temanku dari Sarang, dan grup ketiga dua orang bersaudara yang berprofesi sebagai guru STM dan guru Olah raga SD. Setiap pagi, habis subuhan, langsung tancap menanak nasi dengan kompor minyak tanah, mandi dan langsung tancap ke sekolah dengan nyepeda onthel.

Lolos dari SMA, aku berpindah ke Jogja, lewat SIPENMARU, aku lolos diterima masuk di Teknik Sipil UGM. Aku ingat betul, itulah saat pertama kali melakukan sujud syukur lantaran lolos SIPENMARU. Kala itu persaingan memang sangat berat.(Ada lanjutannya.....)

Hampir kena hipnotis

Denpasar, sekitar tahun 1996, aku masih tergolong pengantin baru. Aku mendapatkan tugas untuk menghadiri workshop keciptakaryaan. Sekalian bulan madu, pikirku, istriku saya bawa serta. Menginap di rumah teman SMA-ku.

Di sela-sela acara, aku sempatkan berjalan-jalan dengan istriku di daerah Kuta. Sebelumnya aku sempatkan pinjam kamera teman kantor, untuk mengabadikan kenangan ini. Pada suatu saat, ketika berjalan-jalan, tiba di persimpangan jalan, tiba-tiba datang seseorang menghampiriku. Istriku masih setia di sampingku. Lelaki itu mempersilahkan saya untuk mengambil undian, lintingan kertas kecil yang ditaruh di dalam kantong plastik. Saat itu, tidak terlintas di pikiranku untuk menolaknya. Aku ambil sebuah lintingan kertas tersebut, lalu kuserahkan kepadanya. "Selamat..anda BERUNTUNG!" teriaknya. Dijelaskannya kepadaku bahwa aku mendapatkan hadiah untuk menginap di sebuah hotel. Lalu dia mengambil sebuah peta, lokasi hotel tersebut.

Pelan-pelan ditunjukkannya kepadaku lokasi hotel tujuan. Dimulai dari tempat aku berdiri sampai dengan lokasi pastinya. Ditudingkannya jari telunjuk di atas kertas, berjalan dari satu titik ke titik-titik berikutnya.......Darahku mendadak terkesiap, ada yang aneh dalam jiwaku. Seketika, aku cek denyut nadi di tangan. Aku tekan dengan keras, terasa sakitnya. Kesimpulanku: aku masih sadar. Lalu dengan refleks, aku ambil kerah leher sang lelaki tersebut sambil berteriak "BANGSAAAAAT!!!!! Kau hipnoti aku ya?" Segera kugandeng istriku, kutinggalkan sang penghipnotis, aku menuju rumah makan cepat saji, untuk menenangkan diri.

Sambil makan dan minum, aku istirahat sebentar di situ. Ee...ternyata lelaki penghipnotisnya mengikuti, masuk mendekatiku. Aku usir dia, membandel! Lalu aku minta bantuan SATPAM untuk mengusirnya, baru berhasil. Dia keluar, tetapi masih kelihatan mondar-mandir di luar, terus mengamatiku. Tak seberapa lama kemudian. ada lelaki lain yang duduk meja dekat mejaku. Lelaki ini membujukku, menjelaskan bahwa lelaki sebelumnya tidaklah seorang penghipnotis. Aku mulai takut, nampaknya banyak sekali tukang hipnotis di sekitar ini, sudah membentuk jaringan.

Aku kemudian meminta bantuan karyawan rumah makan untuk meminjam telepon, guna memanggil temanku minta dijemput. Aku lihat di luar, banyak orang-orang lalu lalang yang terus mengamatiku. Anehnya, sang karyawan menolak untuk meminjamiku telepon, walau kusanggupi untuk mengganti pulsanya. Aku heran, jangan-jangan sang karyawan takut kepada jaringan ini, sehingga tidak berani meminjamiku telepon.

Aku terus berusaha merayu, agar karyawan mau menolong aku yang dalam kesulitan ini. Tetap saja sang karyawan masih belum mau meminjami. Cukup lama aku di situ, makanan sudah habis, tapi aku belum bisa keluar dari tempat ini. Setelah hampir dua jam, entah kenapa, akhirnya aku dipinjami telepon. Alhamdulillah........, aku kemudian minta dijemput oleh temanku. Satu jam kemudian, aku bisa keluar bersama temanku, selamat dari bahaya hipnotis. Andai.......aku kena, aku harus mengganti kamera pinjaman milik temanku.

Minggu, 14 Februari 2010

Komunikasi dengan keluarga

Tiga kali sehari, minimal, aku telpon keluarga di rumah, dengar suara istri dan anak-anak, laporan keadaan rumah dan famili lainnya.

Lewat telpon, aku mengajari jagoan pertamaku untuk menyelesaikan pekerjaan rumah: Matematika. Sebuah soal: ada lingkaran berpusat di O, di dalamnya terdapat sebuah persegi ABCD, dengan panjang sisinya di ketahui. Tugasnya: mencari keliling lingkaran tersebut. Lewat telepon aku suruh dia menggambarkan: lingkaran persegi dan titik-titik tersebut. Setelah gambarnya jadi, barulah dia bisa menyelesaikan sendiri, dengan menggunakan rumus Phytagoras.

Jagoan kedua, baru mulai diajarkan perkalian. Sebelumnya, waktu cuti pulang ke rumah, aku sempat mengajarinya perkalian bilangan 6 s.d. 10, dengan mengunakan jari kedua tangan. Lewat telepon, aku tanyakan: "7 x 8 berapa?". Dia bilang dan langsung praktek: " dua jari tangan kiri dilipat, tiga jari tangan kanan dilipat. Jumlah jari yang dilipat 5 = lima puluh, jari yang tidak dilipat dikalikan = 3 kali 2 sama dengan 6. Kemudian dijumlahkan = 56!" Alhamdulillah, dia sudah bisa.

Jagoan ketiga, lewat telepon istriku bercerita. Dia sudah mulai tahu bahwa game-nya yang berbentuk seperti PSP, tidaklah sama dengan PSP sebenarnnya yang selalu dipegang kedua kakaknya. Dia tidak mau lagi bermain game-nya tersebut. Dia juga tahu kalau saat kedua kakaknya memegang PSP, pasti dia tidak akan diberi kesempatan untuk bermain PSP. Yang dia tahu adalah, pada jam 4 sore sang kaka-kakak akan pergi mengaji. Nah, pada saat itulah dia sibuk mencari-cari PSP dan kemudian memainkannya......walau masih belum bisa membaca dan mengenali kegunaan dan fungsi keypad-nya. Cuma main pejet saja!

Minggu, 31 Januari 2010

Budi mulia dari pinggiran sungai di Lambhuk, Banda Aceh

Banda Aceh, pertengahan 2007, meskipun ini bukan yang pertama kali aku di Banda Aceh, namun aku masih bingung mengenai kota ini. Pindahan dari Meulaboh, aku mendapatkan penugasan yang baru di kantor Banda Aceh, untuk sebuah proyek di Lamno, Kec. Jaya, Kab. Aceh Jaya. Di tempat baru ini, aku membutuhkan tumpangan sementara untuk tempat baruku yang masih asing ini. Alhamdulillah aku mendapatkan bantuan dari budi mulia seorang teman yang dulunya sekantor sewaktu di Meulaboh. Selama hampir satu bulan aku numpang gratis di tempatnya, di daerah Lambhuuk. Pagi hari berangkat barengan naik sepeda motornya ke kantor, sore hari pun demikian pula. Ya Allah muliakanlah orang-orang mulia ini, doaku. Tidak berapa kemudian, aku mendapatkan tempat kos, masih di tempat teman sekantor yang lainnya lagi.

Hampir dua tahun setelahnya, aku sudah sangat mafhum tentang Kota Banda Aceh. Namun tidak halnya dengan masalah fotografi, kegiatan yang menjadi hobi baruku. Budi mulia itu datang dari pinggiran sungai di Lambhuuk juga, namun beda orang dengan sebelumnya, tapi masih teman sekantor juga sewaktu di Meulaboh. Pertama datang di Kos-anku Keutapang, dia bawakan lensa manual miliknya, lalu dia ngajari pemasangan dan pemakaian lensa tersebut untuk kameraku. Waktu saya tanya harganya berapa, dia bilang: sudah pakai aja dulu! Beberapa bulan berselang, aku kembali bertanya, jawabannya sedikit berbeda dengan sebelumnya, dengan menghilangkan kata "dulu"nya, menjadi: "Sudah pakai saja!". Ya Allah muliakanlah orang ini, doaku. Aku lalu flashback ke belakang, kala dia mengantar lensanya: Dia Datang dengan ketulusan, pulang dengan kerelaan.

Jumat, 29 Januari 2010

sa ku tang

Anak kecil, anak kecil.....! Biasanya suka sekali permen. Kalau dikasih satu pasti kurang, maunya minta lebih.

Nah! Gara-gara ini nih, ada kejadian lucu. Waktu itu dia pakai baju yang ada sakunya, di dada sebelah kiri. Sewaktu dikasih permen banyak, dia langsung berusaha untuk menyimpan sisanya yang tidak bisa dimasukkan ke dalam mulutnya. Satu permen diambilnya, tidak ditaruh ke dalam saku, tetapi dimasukkannya ke dalam bajunya lewat kerah! Permen tersebut jatuh lewat perutnya. Diambilnya lagi, dan masih dengan cara yang sama, dia masukkan ke dalam baju lewat kerah baju! Jatuh lagi! Berkali-kali dia lakukan hal sama tersebut. Aku heran, apa dia tidak lihat ya, kalau di dada kirinya terdapat saku untuk menaruh permen tersebut. Lalu aku ajari dia, untuk memasukkan permen-permen tersebut ke dalam saku. Berhasil!

Malam harinya, aku ceritakan kejadian tersebut kepada istriku. Istriku tertawa ngakak: ha ha ha.....!!! Kata istriku, jagoan ketigaku meniru sang Baby sitter. Sebab, kebiasaan baby sitterku, kalau dia menyimpan uang itu di kutangnya! Alamak!!!!!!!!!!

Rabu, 27 Januari 2010

Suka Sepakbola


DIAZ, jagoan ketigaku, tidak seperti 2 kakaknya. Hiperaktif. Didukung oleh postur tubuh yang "kiyeng": tegap,dan berotot kencang, kayaknya dia menyukai olah raga sepakbola. Di rumah senang sekali menendang bola karet yang sangat membal, ringan dan relatip tidak berbahaya. Tendangannya membentur apa saja di dalam ruangan: alamari, meja, TV, pigura, lampu bahkan sampai berpindah ke ruangan sebelahnya. Dia sudah mulai bisa mengetahui "timing" kapan saat kakinya harus ditendangkan di badan bola, agar bola ke arah yang tepat dan melesat dengan kencang.

Keterkejutanku adalah saat Diaz saya ajak bermain di halaman sekolah kakaknya. Waktu itu saatnya anak-anak SD istirahat. Yang laki-laki, seperti kebanyakan anak-anak di tempat lain, bermain sepakbola. Begitu turun dari sepeda motor, Diaz langsung berlari mengejar ke arah bola yang sedang dimainkan oleh anak-anak yang badannya jauh lebih besar. Dia tidak memperdulikan ke'kecil'annya, yang dia inginkan hanyalah menendang bola! Dia tidak tahu siapa kawan, siapa lawan, dan tidak tahu ke arah mana tendangan bola harus diarahkan. Karena di tengah-tengah pemain dengan badan yang lebih besar daripadanya, Diaz ya tidak mungkin berhasil mendapatkan kesempatan untuk menendang bola. Hanya berlari kesana, kemari...mengejar bola yang sedang di kaki anak-anak SD tersebut.

Beruntunglah, ada anak SD yang tahu keadaan tersebut, dan memberikan kesempatan kepada jagoan ketigaku untuk menendang bola. Begitu ia tendang, e masih saja dia berlari mengejar, pengin ikut bermain sepakbola........dasar anak kecil.

gara-gara akik

Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...