Jumat, 30 Juli 2010

Lintas Andalas 2010


dari Banda Aceh naik Bus Kurnia Rp. 130.000,- cukup nyaman. Cuman diperjalanan, digeledah Polisi sebanyak 5 kali, membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Apakah tidak bisa, kalau sudah diperiksa lalu diberi sertifikat "FREE" biar tidak usah diperiksa lagi, apalagi sampai lima kali!
Tiba di Medan sudah ada yang menjemput, seorang teman sewaktu kerja di Meulaboh. Lalu foto2 di Masjid Raya Medan, terus ke Istana Maimoon (tidak tertarik sesi foto), terus makan soto Medan di Brigjen Katamso. Habis itu pulang ke rumahnya, di Marelan, Medan Utara. Tidur nyenyak seharian.
Malam harinya nyari Mie Pak Nazarudin, bumbu petis udang, diberi sambal 2 sendok!!! Ditemani Bandrek. Lumayan, hangat. Habis itu makan sebuah Durian, berdua! Pulang, dan tidur.
Esok paginya, berkemas berangkat keluar rumah, pamitan dengan handai taulan tuan rumah, mencari tiket bus ke Bukit tinggi. Tujuan utama, ANS, sayang.... keburu habis, rencananya kalau ada mau milih yang kursi 1-2, dengan harga Rp.230.000,- Lumayan nyaman seandainya dapat. Lalu aku mencari ke Kurnia, harga Rp. 140.000,- Salahku tidak nanyak rute duluan, ternyata lewat JALINTIMSUM, padahal aku pengin yang lewat tengah: Padang Sidempuan - Panyabungan. Pemandangannya lebih elok katanya. Kalau JALINTIMSUM, pemandangannya cuman kebon kelapa sawit dan karet.
Bus yang aku tumpangi, berangkat jam 12.00 WIB, fisiknya "tidak menyamankan", di tengah perjalanan masih menaikkan penumpang dan barang. Berhenti di RM Idaman, Simpang Kawat, Asahan, seporsi Rp. 17.000,- berupa Nasi putih, sayur nangka dan sepotong ikan pari. Pantes konsumennya sepi!
Perjalanan terhitung lancar, meski kondisi jalannya sendiri kurang bagus, banyak benjolan, tidak rata. Beberapa kali berhenti untuk memberi kesempatan para penumpang: buang air dan sholat.
Di sepanjang jalan diramaikan baliho CABUP, untuk PILKADA lokal. Di Kabupaten Asahan, terdapat baliho "WES WAYAHE Hj Hermiyati memimpin Kab, Asahan...", membuatku terkejut dan heran. Balihonya kok pakai Bahasa Jawa?
Ada juga pemandangan aneh, di pinggir jalan, malam-malam, dua orang lelaki sedang menunggui kuburan (masih baru) sambil mengaji, kalau gak salah di sekitar Kisaran. Budaya lokal kayaknya. Pemandangan tidak luar biasa, sampai di Pekan Baru sekitar jam 05.00, keesokan harinya. Mulai dari Pekan Baru ke Bukit Tinggi inilah pemandangan kelihatan lebih menarik. Sungai di kanan-kiri berkelok-kelok, pepohonan aneka rupa membuat teduh. Bus sempat mogok, ketika habis Payakumbuh, mau naik ke Bukit Tinggi. Sebentar. Sampai di terminal Bukit Tinggi, sopir taksi bernama Adang, telah menjemputku menawariku transaksi dan memberi alternatip pilihan hotel. Kupilih di Hotel Galery, Rp. 150.000,- semalam.
Sore harinya, langsung berburu Nasi Kapau Tek Syam, informasinya kuperoleh dari Blog, di pasar atas, dekat dengan Jam Gadang, kutemukan. Sayangnya ketika mau pulang terhadang hujan, sehingga terpaksa menunggu cukup lama di emperan toko. Karena hujan kayaknya tidak mau berhenti-henti juga, aku pilih naik Andong/dokar untuk pulang ke Hotel. Walau aku tahu jaraknya sangat dekat, tapi berhubung hujan, aku terpaksa menyetujui harga Rp. 15.000,- naik andong menuju ke hotel.

Malam harinya membuat kesepakatan dengan pak Adang: harga dan tempat-tempat kunjungan di sekitar Bukit Tinggi.
Paginya jam 8 tepat, aku sudah berangkat hunting di Buit Tinggi. Titik pertama adalah Ngarai Sianok dan Benteng Jepang. Hari masih pagi, lokasi masih lumayan sepi.........
Selanjutnya, obyek kedua adalah Rumah Kediamana Mantan Wapres kedua: Dr Moh Hatta. Rumah bersejarah ini dijaga oleh pemandu, yang sudah lama (menurut pengakuannya) belum juga diangkat menjadi PNS, masih honorer. Ada ruang tamu, tempat tidur paman, pakde, ayah angkat, dapur, istal, dan ruang belajar/kerja bung Hatta. Dilengkapi juga foto-foto orang-orang terdekat Bung Hatta.

Kemudian menuju ke kota Batusangkar, tempat Istana Pagarruyung berada.Di tengah jalan melewati tempat melihat panorama yang bagus namanya "Tabek Patah". Sesampainya di Batusangkar, sayang, akibat kebakaran, istana ini belum selesai dipugar. Pada hari itu, tepat dengan penobatan Prbaowo Subianto yang mendapat gelar kehormatan setempat.

Habis dari Batusangkar, menuju ke Danau Singkarak, makan siang di tepian danau tersebut. Kemudian menuju ke "Pande Sikek", tempat pembuatan kerajinan tenun di Bukit Tinggi. Kemudian menuju ke Maninjau, kelok 43. Tidak sampai di tepian Maninjau, karena terlalu jauh.

Terakhir adalah singgah di Ngarai Sianok.

Dari Bukit Tinggi perjalanan darat berikutnya adalah menuju kota Palembang. Aku rencanakan naik bis ANS, tempat duduk 2-1. Setelah membayar Rp 200.000,- e lha kok bis-nya tidak nongol, alasannya kurang penumpang. Terus aku dioperkan untuk naik bis Bintang Kejora, dengan tempat duduk 2-2, kondisinya lebih jelek, tidak nyaman. E tidak ada pengembalian biaya sama sekali.

Sebelum berangkat aku bertanya kepada pak Sopir, kira-kira sampai di Palembang jam berapa. Karena kalau sampai Palembang malam hari, aku harus mengantisipasi dengan mencari tempat turun yang aman. Informasi yang saya dapatkan, keamanan di Palembang tidak mendukung. Aku meminta diturunkan di Rumah Makan *****, tidak berani di terminal. Pak Sopir menjawab bahwasanya dia tahu Rumah Makan ***** tersebut. Lega sudah perasaan.

Di perjalanan, memang pak Sopir mengemudi dengan nyaman, tetapi tiba-tiba dari arah depan ada sebuah truk yang menyiap mobil di depannya dengan jarak yang amat dekat sekali, nyaris bertabrakan dengan bis kami, tinggal berjarak 0,5 meter saja!!! Bis juga mengalami pecah kaca jendela, ketika melewati jalan berlubang. Tiba-tiba, kaca pecah sendiri. Saat berhenti makan di sebuah rumah makan di Musi Banyuasin, krew bis menyembatkan untuk menambal kaca jendela dengan plastik. Menjelang masuk kota Palembang, aku bertanya ke pak Sopir, apakah rumah makan tujuanku masih jauh. Mendapatkan pertanyaanku, e lha kok berubah jadi tidak tahu! Yo wis, terpaksa aku turun di ujung jalan lingkar, sambil menelpon temanku untuk meminta jemputan.

Di Palembang, pertama kali, aku langsung diajak mencoba pempek asli, dan malam harinya makan ikan patin di cafe pinggiran Sungai Musi. Aku sempatkan foto-foto di Sungai Musi dan Pasar 12 ilir Palembang. Dua hari di Palembang, aku lalu naik Jetfoil menuju BABEL, dilayani pramugari yang cantik, kinyis-kinyis, turun di Mentok, naik bus mini 7 jam menuju kota KOBA, Bangka Tengah.

Selasa, 27 Juli 2010

Diramal kerja di Bumi Borneo


Sesaat setelah boarding, pikiranku menerawang ke masa silam....kala itu sekitar tahun 1997, dua tahun setelah perkawinanku, di jalan toddopuli raya 77, panakukang, ujung pandang, kantor sekaligus mess tempat tinggalku. Seorang remaja lulusan STM Pembangunan, yang membantuku dalam survey pekerjaan sipil, berceloteh seolah-olah seluruh ucapannya tidak dikehendaki dari pikirannya. Sambil mondar-mandir, ke ruang depan, masuk lagi ke ruang belakang, dan kembali lagi ke ruang depan tanpa henti. Setiap kata, seluruh kalimat yang dikeluarkannya, aku dengarkan, datar, tanpa reaksi apapun, baik itu setuju ataupun menolak.
Seolah tidak ada rem yang bisa mengunci mulutnya, terus saja ia mengeluarkan kalimat-kalimat yang menceritakan kehidupanku di masa depan. Menurutnya dia hanya menceritakan apa-apa yang dia lihat di sebuah buku, cerita bergambar yang samar-samar, yang dengan keterbatasannya, ia lihat, lalu ia ceritakan kepadaku. Beberapa diantaranya adalah: bahwa aku kelak akan "hidup" di Kalimantan, dan punya anak tiga orang.
Lama sudah peramalan itu berlalu. Bahkan akupun telah berganti pengabdian, keluar dari perusahaan yang lama, berganti dengan yang baru. Aku juga sempat terlempar ke ujung barat Indonesia, yang semakin menghapus ramalan itu.
Sekejap, aku terkejut, ketika sang pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi akan mendarat di Bandara Syamsuddinnoor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Antara percaya dan tidak, aku turuni tangga pesawat, 'tuk memulai kehidupan "proyek"ku dengan durasi 2 (dua) tahun, sambil membayangkan ketiga jagoan-ku yang aku tinggalkan nun jauh di sana, di Rembang, Jawa Tengah.

gara-gara akik

Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...