Kamis, 26 Agustus 2010

kerja dan uang

Sebagian besar orang: bekerja "hanya" untuk mencari uang. Hanya sebagian kecil orang  yang bekerja "sebagian" untuk mencari uang.

Selasa, 17 Agustus 2010

ngGali perangkap untuk diri sendiri

Sebagai perantau, tiap kali datang ke tempat baru, selalu saja diminta untuk mengutamakan "Putera Daerah". Permintaan datang dari pejabat setempat ataupun warga setempat itu sendiri. Kalau permintaan dari pejabat sih, memang sudah standar, tidak ada yang aneh-aneh. Tetapi kalau permintaan dari warga sendiri, biasanya: aneh, mengejutkan bahkan memaksa!

Setiap ada kesempatan untuk memakai sumber daya, memang yang pertama kali aku tawari adalah warga setempat. Tawaranku tetap mempertimbangkan faktor ekonomi. Kalau tidak ekonomis, ya mohon maaf, aku akan mencari sumber daya ke tempat lain yang lebih ekonomis. Kesempatan pertama, ketika aku tawarkan kepada penyuplai lokal tidak ada kata sepakat, warga setempat tidak mau menurunkan harga. Dengan terpaksa, aku mencari ke tempat lain, Alhamdulillah: mufakat alias deal!

Begitu proyek mulai, terlihat ada sumber daya dari luar, warga setempat tidak terima. Mengancam akan menyetop pekerjaan. Selain itu juga mengintimidasi penyuplai dari luar tersebut. Terpaksa aku rundingan lagi dengan warga setempat, alhamdulillah terdapat mufakat: mereka mau menurunkan harganya, harga yang sama dengan penyuplai dari luar tersebut.

Tidak hanya sampai di situ, entah karena serakah atau iri, bau kebencian terhadap penyuplai dari luar masih tercium. Tiba pada suatu saat, mereka menyetop penyuplai dari luar tersebut. Dalihnya: penyuplai dari luar harus membuat kesepakatan dengan desa setempat untuk memberikan sumbangan "X rupiah" setiap truknya, dimana hal yang sama, menurut penyuplai lokal ini telah mereka lakukan. Dengan bangganya mereka tunjukan Surat Kesepakatan tersebut. Gemparrrrrrrrrrrr!!!

Terpaksalah, MUSPIKA turun tangan mencari tahu dan memecahkan permasalahan. Semua yang terlibat dikumpulkan. Bapak Kepala Desa mengakui memang ada himbauan dari desanya untuk para penyuplai agar menyisihkan sedikit keuntungan kepada desa, sekedarnya, tidak ada paksaan, apalagi dengan jumlah tertentu. Penyuplai dari luar menyanggupi, dengan suka rela, akan memberikan sumbangan "kurang dari X rupiah". Penyuplai lokal? Mungkin karena terlanjur malu, memalsukan surat tersebut, dengan nada datar "tidak menolak" untuk menyumbang dengan harga "X rupiah".

Alamaaak.......... menggali perangkap untuk orang lain, eh diri sendiri yang kena!

Sabtu, 14 Agustus 2010

Bantuan.....?

Seringkali saat kita berkendara, entah itu naik sepeda motor, atau mobil, umum ataupun pribadi, di tengah perjalanan tiba-tiba kita distop, atau setidaknya diminta untuk mengurangi kecepatan oleh sekelompok orang sekedar untuk dimintai sumbangan uang, entah itu saat ada genangan air, jalan berlobang, perbaikan ataupun pembangunan jalan/jembatan, sumbangan bencana alam bahkan mungkin pembangunan tempat ibadah.

Untuk pembangunan tempat ibadah khususnya masjid, tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah, kalau kebetulan lokasi masjid terletak di pingir jalan raya, kemudian Panitia Pembangunan lantas "menghadang" arus lalu lintas untuk sekedar meminta bantuan, mengumpulkan dana untuk pembangunan masjid tersebut. Sejauh ini, MUI tidak/ belum mengeluarkan fatwa mengenai kegiatan tersebut.

Sebagai orang awam, saya merasakan ada suatu "keanehan" dalam kegiatan tersebut. Seingat saya, Nabi besar Muhammad SAW, sewaktu ada pembangunan masjid, beliau turun tangan sendiri, ikut mengangkat batu, terjun langsung dalam proses pembangunannya. Saya yakin, seandainya waktu itu Nabi Muhammad SAW, minta bantuan uang "door to door", dengan mudahnya uang akan terkumpul sangat banyak. Namun seperti yang kita ketahui, hal tersebut tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Kenapa beliau tidak melakukanya, karena pasti dengan suatu alasan yang sangat kuat.

Sekarang.....? Sebagian orang lebih memilih untuk duduk-duduk di atas kursi, di pinggir jalan membawa kantong uang dan menyetop kendaraan lalu meminta uang! Mengapa harus dengan cara begini? Tidakkah kita berpikir bahwa sebagian pengguna jalan adalah umat non muslim, yang berburu waktu dan tidak mau kehilangan sedikitpun waktunya dalam berkendara?

Minggu, 01 Agustus 2010

kondangan jawa di Borneo

Menjadi pendatang di lingkungan yang baru, harus mau mengikuti adat istiadat setempat. Tapi adat-istiadat setempat di tempat yang baru masih seperti di tempat asalku, bahkan malahan lebih kental daripada yang aku miliki. Barangkali karena aku yang telah luntur, ter-aus-kan oleh pendidikan dan pengembaraanku.

Suatu malam, aku harus mewakili tim-ku untuk menghadiri kondangan di tetangga kontrakanku. Acaranya adalah dalam rangka mendoakan sang putera yang telah meninggal setahun lalu. Aku sebenarnya sedikit keki, karena cuman bersarung dan berkoko tanpa peci, sedangkan para hadirin hampir semuanya berpeci. Seperti di tempat asalku, bacaannya adalah Surat Yasin dan Tahlil, dengan perbedaan di "lagu" dan "dialek"-nya saja.

Yang benar-benar berbeda adalah sajian untuk para hadirinnya! Di samping tersedia nasi bungkus, terdapat tiga wadah khusus, satunya berisi ayam utuh, satunya lagi adalah nasi uduk dan terakhir adalah sekaleng bebungaan. Begitu seluruh bacaan telah selesai, satu orang berinisiatip memotong-memotong (lebih tepatnya: mematah-matahkan ayam utuh menjadi bagian kecil-kecil) untuk dibagikan dan ditambahkan ke dalam nasi bungkus para hadirin. Sedangkan bunganya, sampai acara selesai tidak di"apa-apa"kan.

Yang membuat saya heran adalah karena kondangan tersebut dilaksanakan di Lok Tabat Selatan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dan masalah bunga, aku belum pernah menemukan sajian bunga dalam sebuah kondangan di tempat asalku! Apa karena para perantau lebih "kuat" dalam menjaga tradisi ke-jawa-annya dan masyarakat sekitarku sudah meluntur tradisinya, ataukah tradisi jawa telah di"padu"kan dengan adat Borneo?

gara-gara akik

Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...