Kamis, 18 Februari 2010

Jerih payah orang tuaku

Guru SD, itulah pekerjaan bapakku. Lewat syair "Omar Bakri"-nya Iwan Fals, kita sudah tahu kondisi seorang guru kayak apa. Ibuku, seorang ibu rumah tangga biasa, namun perjuangannya sangat luar biasa. Kami berlima bersaudara, itulah yang harus ditanggung kedua orang tuaku.

Beban hidup mulai sangat terasa, ketika aku menginjak SMP, yang artinya ketiga kakakku: ada yang di tingkat SMA, dan Perguruan Tinggi. Untungnya kakak pertamaku (Peremmpuan) sudah tamat dari PGA (Pendidikan Guru Agama), tengah wiyata bakti di suatu SD.

Mulailah kegetiran dan kesulitan hiduo keluargaku itu dimulai. Mulai; membuka indekos untuk guru atau pegawai, jualan peyek kacang, sampai dengan jualan koran bekas. Kadang-kadang kalau ada satu event di tingkat kecamatan, ibuku ikutan berjualan nasi pecel. Beruntung lokasi SMP-ku dekat. Tahun pertama masih di sebelah rumah, cuman jalan kaki. Tahunkedua dan ketiga pindah cukup jauh, tapi masih bisa kugapai dengan naik sepeda. Karena tahu kondisi keluargaku, sangat jarang aku mendapatkan uang saku dari orang tua. Beruntung banyak teman-teman SMP yang baik hati, kadang-kadang aku mendapatkan traktiranya.

Naik ke jenjang SMA, lebih berat lagi beban orang tuaku. Aku harus kos di kota. Sewa kamar lebih tepatnya, karena aku dengan pamanku, satu kamar, sepakat "memasak sendiri". Masih ingat dengan jelas dalam benakku, tiap minggu aku pulang ke rumah, baliknya ke kota aku selalu dibawakan lauk, yang bisa aku gunakan untuk 2-3 hari. Mulai dari kering tempe, bumbu pecel, gudeg gori atau ikan asin. Dalam satu rumah, waktu itu ada tiga grup, yang masak sendiri.

Grup pertama aku dan pamanku, grup kedua teman-temanku dari Sarang, dan grup ketiga dua orang bersaudara yang berprofesi sebagai guru STM dan guru Olah raga SD. Setiap pagi, habis subuhan, langsung tancap menanak nasi dengan kompor minyak tanah, mandi dan langsung tancap ke sekolah dengan nyepeda onthel.

Lolos dari SMA, aku berpindah ke Jogja, lewat SIPENMARU, aku lolos diterima masuk di Teknik Sipil UGM. Aku ingat betul, itulah saat pertama kali melakukan sujud syukur lantaran lolos SIPENMARU. Kala itu persaingan memang sangat berat.(Ada lanjutannya.....)

Hampir kena hipnotis

Denpasar, sekitar tahun 1996, aku masih tergolong pengantin baru. Aku mendapatkan tugas untuk menghadiri workshop keciptakaryaan. Sekalian bulan madu, pikirku, istriku saya bawa serta. Menginap di rumah teman SMA-ku.

Di sela-sela acara, aku sempatkan berjalan-jalan dengan istriku di daerah Kuta. Sebelumnya aku sempatkan pinjam kamera teman kantor, untuk mengabadikan kenangan ini. Pada suatu saat, ketika berjalan-jalan, tiba di persimpangan jalan, tiba-tiba datang seseorang menghampiriku. Istriku masih setia di sampingku. Lelaki itu mempersilahkan saya untuk mengambil undian, lintingan kertas kecil yang ditaruh di dalam kantong plastik. Saat itu, tidak terlintas di pikiranku untuk menolaknya. Aku ambil sebuah lintingan kertas tersebut, lalu kuserahkan kepadanya. "Selamat..anda BERUNTUNG!" teriaknya. Dijelaskannya kepadaku bahwa aku mendapatkan hadiah untuk menginap di sebuah hotel. Lalu dia mengambil sebuah peta, lokasi hotel tersebut.

Pelan-pelan ditunjukkannya kepadaku lokasi hotel tujuan. Dimulai dari tempat aku berdiri sampai dengan lokasi pastinya. Ditudingkannya jari telunjuk di atas kertas, berjalan dari satu titik ke titik-titik berikutnya.......Darahku mendadak terkesiap, ada yang aneh dalam jiwaku. Seketika, aku cek denyut nadi di tangan. Aku tekan dengan keras, terasa sakitnya. Kesimpulanku: aku masih sadar. Lalu dengan refleks, aku ambil kerah leher sang lelaki tersebut sambil berteriak "BANGSAAAAAT!!!!! Kau hipnoti aku ya?" Segera kugandeng istriku, kutinggalkan sang penghipnotis, aku menuju rumah makan cepat saji, untuk menenangkan diri.

Sambil makan dan minum, aku istirahat sebentar di situ. Ee...ternyata lelaki penghipnotisnya mengikuti, masuk mendekatiku. Aku usir dia, membandel! Lalu aku minta bantuan SATPAM untuk mengusirnya, baru berhasil. Dia keluar, tetapi masih kelihatan mondar-mandir di luar, terus mengamatiku. Tak seberapa lama kemudian. ada lelaki lain yang duduk meja dekat mejaku. Lelaki ini membujukku, menjelaskan bahwa lelaki sebelumnya tidaklah seorang penghipnotis. Aku mulai takut, nampaknya banyak sekali tukang hipnotis di sekitar ini, sudah membentuk jaringan.

Aku kemudian meminta bantuan karyawan rumah makan untuk meminjam telepon, guna memanggil temanku minta dijemput. Aku lihat di luar, banyak orang-orang lalu lalang yang terus mengamatiku. Anehnya, sang karyawan menolak untuk meminjamiku telepon, walau kusanggupi untuk mengganti pulsanya. Aku heran, jangan-jangan sang karyawan takut kepada jaringan ini, sehingga tidak berani meminjamiku telepon.

Aku terus berusaha merayu, agar karyawan mau menolong aku yang dalam kesulitan ini. Tetap saja sang karyawan masih belum mau meminjami. Cukup lama aku di situ, makanan sudah habis, tapi aku belum bisa keluar dari tempat ini. Setelah hampir dua jam, entah kenapa, akhirnya aku dipinjami telepon. Alhamdulillah........, aku kemudian minta dijemput oleh temanku. Satu jam kemudian, aku bisa keluar bersama temanku, selamat dari bahaya hipnotis. Andai.......aku kena, aku harus mengganti kamera pinjaman milik temanku.

Minggu, 14 Februari 2010

Komunikasi dengan keluarga

Tiga kali sehari, minimal, aku telpon keluarga di rumah, dengar suara istri dan anak-anak, laporan keadaan rumah dan famili lainnya.

Lewat telpon, aku mengajari jagoan pertamaku untuk menyelesaikan pekerjaan rumah: Matematika. Sebuah soal: ada lingkaran berpusat di O, di dalamnya terdapat sebuah persegi ABCD, dengan panjang sisinya di ketahui. Tugasnya: mencari keliling lingkaran tersebut. Lewat telepon aku suruh dia menggambarkan: lingkaran persegi dan titik-titik tersebut. Setelah gambarnya jadi, barulah dia bisa menyelesaikan sendiri, dengan menggunakan rumus Phytagoras.

Jagoan kedua, baru mulai diajarkan perkalian. Sebelumnya, waktu cuti pulang ke rumah, aku sempat mengajarinya perkalian bilangan 6 s.d. 10, dengan mengunakan jari kedua tangan. Lewat telepon, aku tanyakan: "7 x 8 berapa?". Dia bilang dan langsung praktek: " dua jari tangan kiri dilipat, tiga jari tangan kanan dilipat. Jumlah jari yang dilipat 5 = lima puluh, jari yang tidak dilipat dikalikan = 3 kali 2 sama dengan 6. Kemudian dijumlahkan = 56!" Alhamdulillah, dia sudah bisa.

Jagoan ketiga, lewat telepon istriku bercerita. Dia sudah mulai tahu bahwa game-nya yang berbentuk seperti PSP, tidaklah sama dengan PSP sebenarnnya yang selalu dipegang kedua kakaknya. Dia tidak mau lagi bermain game-nya tersebut. Dia juga tahu kalau saat kedua kakaknya memegang PSP, pasti dia tidak akan diberi kesempatan untuk bermain PSP. Yang dia tahu adalah, pada jam 4 sore sang kaka-kakak akan pergi mengaji. Nah, pada saat itulah dia sibuk mencari-cari PSP dan kemudian memainkannya......walau masih belum bisa membaca dan mengenali kegunaan dan fungsi keypad-nya. Cuma main pejet saja!

gara-gara akik

Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...