Pertanyaan yang ditujukan kepadaku tersebut serasa sebagai sebuah tamparan yang mengenai mukaku! Betapa tidak, sebenarnya aku sudah 'tinggal' di Loktabat Selatan ini hampir dua tahun lamanya, tapi kenapa aku dianggap 'baru'? Pertanyaan tersebut dikemukakan seorang jamaah Masjid Miftahul Khoiriyah, Jalan Sidodadi 1, Loktabat Selatan, Banjarbaru, Kalsel, ketika aku usai menunaikan sholat tahiyatul masjid. Sebuah pertanyaan, yang mempunyai hikmah;
1. Saya jarang dilihatnya hadir berjamaah di masjid tersebut,
2. Saya jarang dilihatnya di kehidupan sehari-harinya, meskipun sesungguhnya aku bertetangga dengannya.
"Bapak jamaah baru ya...?", langsung aku jawab dengan kalimat yang menjelaskan keadaan yang sebenarnya; bahwasanya aku sudah tinggal di Loktabat Selatan sudah hampir dua tahun ini dan baru beberapa bulan ini aku aktif berjamaah. Astaghfirullah......ini sebenarnya sebuah sistem yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT, dengan berjamaah kita akan saling kenal dengan sekitar kita, tidak ada saling curiga karena keterasingan satu dengan yang lainnya, dan di tingkat masyarakat kita akan dapat mengontrol warga yang tidak kita kenal di sekitar kita. Selama ini aku terlena dengan kehidupan dunia, sehingga alpa dalam berjamaah menghadap Allah SWT.
Kehidupan modern, membuat kita menjadi asing dengan tetangga rumah, tempat keseharian kita. Hanya akrab dengan rekan kerja, yang sebenarnya keakraban berdasarkan kepentingan jangka pendek semata. Tuntutan mencari nafkah telah menjual diri kita tercerabut dari masyarakat "tetangga" kita; ada yang jauh-jauh merantau ke luar negeri, ke luar pulau, ke luar kota, meninggalkan keluarga dimana masyarakat "tetangga" yang sebenarnya menjaga mereka selama kita tidak ada di rumah.
Saya lahir di Sedan (C2N), Kab Rembang, Jawa Tengah. Sekolah dari SD hingga SMP di Sedan, SMA di Rembang kemudian lanjut kuliah di Jogja. Setelah bekerja, awalnya di Konsultan, pindah LSM dan pindah lagi di Kontraktor, proyekan. Sebagai orang proyek, otomatis sering berkembara dari satu kota ke kota lainnya. Blog ini adalah sarana menyimpan memori setiap bentuk kenikmatan yang selalu saya terima selama pengembaraan tersebut.
Rabu, 22 Februari 2012
Jumat, 03 Februari 2012
Peta dan Skema Kegiatan Ibadah Haji
Untuk memberi gambaran lingkup pergerakan jamaah haji saat inti kegiatan haji: tanggal, lokasi, kegiatan dan pakaian dapat dilihat pada skema kegiatan Ibadah Haji . Kegiatan pokoknya adalah sbb:
1. Wukuf di Arofah (lihat daerah di sekitar Jabal Rahmah)
2. Mabit di Musdalifah ( daerah antara Arofah dan Mina)
3. Jamarat, bolak-balik antara Perkemahan Mina dan Jamarat
4. Mekah (Tanazul dan Thowaf Ifadloh)
Agar tidak mengalami hal yang saya alami, ketika melakukan tanazul (pada tgl 11 dzulhijjah , atau pada hari kedua di Mina, setelah jumroh aqobah langsung menuju ke Mekah untuk melakukan Thowaf Ifadloh), kami berempat (karena tidak tahu jalan) dari Jamarat ke masjidil haram naik taksi pergi pulang dengan harga yang sangat-sangat mahal. Dan itupun menjelang sampainya di Mina, masih tetap harus jalan kaki, karena ruas jalan menuju ke Mina ditutup untuk mengakomodir pejalan kaki yang meluber. Bayangkan dari Jamarat ke Masjidil Haram naik bus umum perorang kena tarif SAR 20, naik taksi dari Masjidil Haram ke Nakasah kena SAR 150, dan dari Nakasa kembali ke Mina kena tarif SAR 350. (SAUDI ARABIA RIYAL= SAR, SAR 1 = Rp.2.500,-) Luar biasa mahal! Padahal seandainya saja pada saat itu saya diberitahu (menurut saya menjadi kewajiban Petugas Haji untuk memberitahu), cukup jalan kaki, karena ternyata hanya berjarak sekitar 5 KM.
1. Wukuf di Arofah (lihat daerah di sekitar Jabal Rahmah)
2. Mabit di Musdalifah ( daerah antara Arofah dan Mina)
3. Jamarat, bolak-balik antara Perkemahan Mina dan Jamarat
4. Mekah (Tanazul dan Thowaf Ifadloh)
Agar tidak mengalami hal yang saya alami, ketika melakukan tanazul (pada tgl 11 dzulhijjah , atau pada hari kedua di Mina, setelah jumroh aqobah langsung menuju ke Mekah untuk melakukan Thowaf Ifadloh), kami berempat (karena tidak tahu jalan) dari Jamarat ke masjidil haram naik taksi pergi pulang dengan harga yang sangat-sangat mahal. Dan itupun menjelang sampainya di Mina, masih tetap harus jalan kaki, karena ruas jalan menuju ke Mina ditutup untuk mengakomodir pejalan kaki yang meluber. Bayangkan dari Jamarat ke Masjidil Haram naik bus umum perorang kena tarif SAR 20, naik taksi dari Masjidil Haram ke Nakasah kena SAR 150, dan dari Nakasa kembali ke Mina kena tarif SAR 350. (SAUDI ARABIA RIYAL= SAR, SAR 1 = Rp.2.500,-) Luar biasa mahal! Padahal seandainya saja pada saat itu saya diberitahu (menurut saya menjadi kewajiban Petugas Haji untuk memberitahu), cukup jalan kaki, karena ternyata hanya berjarak sekitar 5 KM.
Kamis, 02 Februari 2012
Mabit di Musdalifah
Menjelang Maghrib, jamaah berkemas dari Arofah menuju Musdalifah. Tidak begitu jauh. Tepatnya berupa lapangan terbuka, dengan dilengkapi beberapa MCK, dan dipagar, untuk memisahkan dengan jalan dengan beberapa pintu keluar pada jarak tertentu.
Di sini, kita mencari kerikil, dengan jumlah:
1. Jumroh Aqobah (tgl 10 Dzulhijjah) 7 bh;
2. Jumroh Ula, wustho dan Aqobah (tgl 11 Dzulhijjah): 3x7 = 21 bh
3 Jumroh Ula, Wustho, Aqobah (tgl 12 Dzulhijaah): 3x7 = 21 bh; dan bagi yang nafar tsani ditambah:
4. Jumroh Ula, wustho, Aqobah (tgl 13 Dzulhijah); 3x7 = 21 bh.
Setelah mendapatkan batu tersebut, kita dapat beristirahat, tidur sebentar sambil menunggu jemputan untuk berangkat ke Mina.
Wukuf
Sehari menjelang wukuf, jamaah sudah tiba di arofah. Ada juga kloter lain yang singgah di Mina dulu untuk tarwiyah, baru pagi harinya tanggal 9 Dzulhijjah, tiba di Arofah. Namun hendaknya yang menjadi perhatian adalah bahwa pada tanggal tersebut, lalu lintas ke Arofah sangat padat. Akibatnya adalah ada beberapa kloter yang hampir terlambat tiba di Arofah saat wukuf dimulai. Sehingga pantaslah kiranya KBIH saya memutuskan untuk tiba lebih dini di Arofah untuk menghindari hal-hal seperti itu.
Di Arofah, tenda-tenda sudah disediakan oleh pengelola Maktab. Jamaah laki-laki dipisahkan dengan jamaah perempuan. Makanan disediakan, dengan cara antrian tentu saja. Minuman pun demikian, panas: kopi atau teh; dan dingin: air putih botolan. Kamar mandi umum ada juga, tetapi sangat terbatas, terpisah antara laki-laki dan perempuan. Di sinilah ujiannya: antri mengular panjaaaaang sekali. Harus kita atur: jangan sampai kita ketinggalan saat wukuf.
Beberapa jamaah yang sudah pernah Haji/umrah, seusai sholat shubuh akan menuju Jabal Rahmah. Sayang saya tidak tahu, dan tidak diberitahu oleh Petugas Haji jalan menuju ke Jabal Rahmah tersebut. Andai tahu...........? Saya akan menuju ke situ juga. Menjelang dzuhur, kembali lagi ke tenda, untuk berwukuf.
Dan, tibalah saat wukuf:.....................................................banjir air mata!
Di Arofah, tenda-tenda sudah disediakan oleh pengelola Maktab. Jamaah laki-laki dipisahkan dengan jamaah perempuan. Makanan disediakan, dengan cara antrian tentu saja. Minuman pun demikian, panas: kopi atau teh; dan dingin: air putih botolan. Kamar mandi umum ada juga, tetapi sangat terbatas, terpisah antara laki-laki dan perempuan. Di sinilah ujiannya: antri mengular panjaaaaang sekali. Harus kita atur: jangan sampai kita ketinggalan saat wukuf.
Beberapa jamaah yang sudah pernah Haji/umrah, seusai sholat shubuh akan menuju Jabal Rahmah. Sayang saya tidak tahu, dan tidak diberitahu oleh Petugas Haji jalan menuju ke Jabal Rahmah tersebut. Andai tahu...........? Saya akan menuju ke situ juga. Menjelang dzuhur, kembali lagi ke tenda, untuk berwukuf.
Dan, tibalah saat wukuf:.....................................................banjir air mata!
Rabu, 01 Februari 2012
Ujung Pandang (Makassar)
Tahun 1997, dulu kotanya bernama Ujung Pandang, sekarang berganti Makassar. Hampir setahun tinggal di ibukota Sulawesi Selatan, mengelola kantor cabang sebuah konsultan nasional, berkantor di Toddopuli, Panakukkang. Pisang Epek, Sop Konro, Coto, Palu Butung, Es Pisang Ijo dan jalangkotek: sebutan penganan yang ada di Makassar, meski sebenarnya barangnya sudah pernah aku kenali di Jawa.
Tindak kejahatan dengan kekerasan kerap kali terjadi. Hampir tiap hari, koran memberitakannya. Di tempat-tempat yang rawan, pintu rumah selalu dengan pintu ganda, untuk pengamanan. Pulang larut malam, selalu saya hindari.
Relasi kantor kebanyakan adalah pejabat kantor pemerintahan, bidang Pekerjaan Umum utamanya. Karena tidak disediakan Sopir, di sinilah dengan terpaksa: aku belajar mengemudi. Bisa! Meskipun dengan beberapa kali memakan korban: pertama menyenggol pintu gerbang kantor dan yang kedua saat berusaha keluar dari terperosok malahan menabrak bagian belakang mobil proyek milik relasi.
Pada suatu ketika, aku mendapatkan berita bahwa salah satu relasiku hendak pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Datanglah saya untuk bersilaturahmi, medoakan keselematannya dan meminta untuk memanggil-manggil namaku saat di tanah suci nantinya, supaya aku bisa segera ikut menyusulnya. Tidak kusangka, sekembalinya dari tanah suci, beliau memberitahuku: " Pak Sus namamu sudah aku panggil di sana lho ya....!"
Pertama kali mendapatkan penugasan di kota ini, Isteriku pas mengandung anak pertamaku, Jagoan Pertama biasa aku menyebutnya.
Aku tinggal sendirian, isteri saya tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah) C2N, Rembang. Sebulan sampai dua bulan sekali aku pulang untuk keluargaku. Suasana kantor chaos, orang-orangnya "aneh", tinggalan manajemen cabang sebelumnya. Masing-masing punya bisnis sendiri-sendiri selain kerjaannya di kantor. Saling tidak mau kalah terhadap apa-apa yang dia punyai. Dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Inventaris kantor, otomatis inventaris pribadinya.
Tinggal terpisah dengan keluarga, sungguh berat. Apalagi komunikasi saat itu belum secanggih saat sekarang. Handphone masih barang langka. Sementara, PMI tidak/belum ada jaringan telekomunikasi untuk perumahan. Satu-satunya telepon hanya ada di kantor kecamatan. Terpaksalah minta bantuan orang kecamatan, minta tolong dipanggilkan, kemudian isteri datang, barulah bisa omong-omongan. Sekitar setengah tahun kemudian, barulah aku bisa beli hand phone, meski yang di rumah masih tetap belum bisa, karena memang tidak ada jaringan.
Tidak banyak proyek yang harus saya dikelola. Ternyata selama ini, setiap proyek selalu di sub kontrakkan, terhadap orang-orang dalam sendiri. Akibatnya, kualitas jelek dan sulit mendapatkan kepercayaan dari owner kembali. Beberapa owner masih menagih tanggung jawab laporan proyek yang belum terselesaikan. "Ora melu mangan nongko tapi keno pulut-e", pepatah jawanya.
Aku teringat betul, saat itu tengah berada di Sulawesi Tengah, Palu, untuk mengurus Prakualifikasi. Ada telpon dari rumah C2N, isteriku mau melahirkan: anak pertama, Jagoan Pertama! Aku langsung balik ke Makassar, bersiap pulang ke C2N. Tiba di Makassar, telpon, mendapat kabar: Jagoan Pertama sudah terlahir dengan selamat. Alhamdulillah...............dari Makassar aku langsung terbang.....ke Surabaya terus ke C2N. Tiba di C2N tengah malam berikutnya, langsung menuju ke Rumah Sakit Rembang, tempat persalinan. Aku tergagap-gagap, galau......"aku sudah punya seorang anak....?"
Tindak kejahatan dengan kekerasan kerap kali terjadi. Hampir tiap hari, koran memberitakannya. Di tempat-tempat yang rawan, pintu rumah selalu dengan pintu ganda, untuk pengamanan. Pulang larut malam, selalu saya hindari.
Relasi kantor kebanyakan adalah pejabat kantor pemerintahan, bidang Pekerjaan Umum utamanya. Karena tidak disediakan Sopir, di sinilah dengan terpaksa: aku belajar mengemudi. Bisa! Meskipun dengan beberapa kali memakan korban: pertama menyenggol pintu gerbang kantor dan yang kedua saat berusaha keluar dari terperosok malahan menabrak bagian belakang mobil proyek milik relasi.
Pada suatu ketika, aku mendapatkan berita bahwa salah satu relasiku hendak pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Datanglah saya untuk bersilaturahmi, medoakan keselematannya dan meminta untuk memanggil-manggil namaku saat di tanah suci nantinya, supaya aku bisa segera ikut menyusulnya. Tidak kusangka, sekembalinya dari tanah suci, beliau memberitahuku: " Pak Sus namamu sudah aku panggil di sana lho ya....!"
Pertama kali mendapatkan penugasan di kota ini, Isteriku pas mengandung anak pertamaku, Jagoan Pertama biasa aku menyebutnya.
Aku tinggal sendirian, isteri saya tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah) C2N, Rembang. Sebulan sampai dua bulan sekali aku pulang untuk keluargaku. Suasana kantor chaos, orang-orangnya "aneh", tinggalan manajemen cabang sebelumnya. Masing-masing punya bisnis sendiri-sendiri selain kerjaannya di kantor. Saling tidak mau kalah terhadap apa-apa yang dia punyai. Dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Inventaris kantor, otomatis inventaris pribadinya.
Tinggal terpisah dengan keluarga, sungguh berat. Apalagi komunikasi saat itu belum secanggih saat sekarang. Handphone masih barang langka. Sementara, PMI tidak/belum ada jaringan telekomunikasi untuk perumahan. Satu-satunya telepon hanya ada di kantor kecamatan. Terpaksalah minta bantuan orang kecamatan, minta tolong dipanggilkan, kemudian isteri datang, barulah bisa omong-omongan. Sekitar setengah tahun kemudian, barulah aku bisa beli hand phone, meski yang di rumah masih tetap belum bisa, karena memang tidak ada jaringan.
Tidak banyak proyek yang harus saya dikelola. Ternyata selama ini, setiap proyek selalu di sub kontrakkan, terhadap orang-orang dalam sendiri. Akibatnya, kualitas jelek dan sulit mendapatkan kepercayaan dari owner kembali. Beberapa owner masih menagih tanggung jawab laporan proyek yang belum terselesaikan. "Ora melu mangan nongko tapi keno pulut-e", pepatah jawanya.
Aku teringat betul, saat itu tengah berada di Sulawesi Tengah, Palu, untuk mengurus Prakualifikasi. Ada telpon dari rumah C2N, isteriku mau melahirkan: anak pertama, Jagoan Pertama! Aku langsung balik ke Makassar, bersiap pulang ke C2N. Tiba di Makassar, telpon, mendapat kabar: Jagoan Pertama sudah terlahir dengan selamat. Alhamdulillah...............dari Makassar aku langsung terbang.....ke Surabaya terus ke C2N. Tiba di C2N tengah malam berikutnya, langsung menuju ke Rumah Sakit Rembang, tempat persalinan. Aku tergagap-gagap, galau......"aku sudah punya seorang anak....?"
Pasar Tradisional Nakkassah
Di luar dugaan saya, ternyata di belakang maktab saya adalah pasar tradisional, yang menyediakan segala kebutuhan sehari-hari: sembako, sayur, ikan: segar maupun asin, daging: dari kikil sampai jerohan, buah-buahan dan toko-toko yang menjual pakaian dan karpet (termasuk sajadah). Bahkan banyak juga yang berjualan sirih pinang! Dua hari atau tiga kali sehari saya menemani istri berbelanja untuk kebutuhan regu. Pedagangnya kebanyakan sudah bisa bahasa Indonesia untuk keperluan berhitung: barang dagangan maupun uang. Seperti layaknya pasar tradisional di Jawa, kita harus pintar menawar. Jangan takut kalau kita menawarnya terlalu rendah, biasanya sang pedagang akan bilang, " Bakhil, bakhil....". naikkan sedikit harganya, maka sang pedagang akan menjadi berkompromi dengan kita.
Yang sedikit berbeda dengan pasar di tanah air adalah: para pedagangnya seluruhnya adalah pria! Kalau pembeli masih banya yang wanita, karena kebetulan musim haji sehingga jamaah haji dari Indonesia yang kebanyakan berbelanja adalah perempuannya.
Yang sedikit berbeda dengan pasar di tanah air adalah: para pedagangnya seluruhnya adalah pria! Kalau pembeli masih banya yang wanita, karena kebetulan musim haji sehingga jamaah haji dari Indonesia yang kebanyakan berbelanja adalah perempuannya.
Langganan:
Postingan (Atom)
gara-gara akik
Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...
-
Perjalanan hidup kali ini membawaku ke Kota Muara Teweh, Ibukota Kabupaten Barito Utara, Propinsi Kalimantan Tengah, kira-kira 10 jam perjal...
-
Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...
-
Jaman Aku kecil dulu............. 1. Petik buah di halaman, terus bagi ke tetangga kiri dan kanan 2. Buang bangkai dengan cara mengubur di...