Apa itu e-KTP? Apa itu Kartu INAFIS? Saya tidak banyak tahu, keduanya sekalipun!. Karena sampai saat ini (21 April 2012) saya belum punya e-KTP, apalagi kartu INAFIS.
Kalau menurut dugaan saya, keduanya tidak jauh berbeda cuman di tujuannya saja! Yang satu untuk kepentingan administrasi kependudukan di Kemendagri, dan yang satunya lagi untuk kepentingan pelacakan untuk kepentingan POLRI. Apakah sebenarna tidak bisa digabung? Kalau itu tinggal masalah koordinasi semata. Kalau mau ditangani Kemendagri, POLRI tinggal "pesan" kepada Kemendagri: data-data apa saja yang perlu ditambahkan untuk mengakomodir kepentingan POLRI. Kalau sudah sedemikian POLRI bisa konsentrasi penuh menangani tugas-tugasnya yang keteteran tertangani dikarenakan minimnya aparat POLRI dibanding jumlah penduduk RI yang sangat begitu besar. Atau kalau mau ditangani POLRI, Kemendagri tinggal "pesan" data apa kepada POLRI, beres! Tapi kalau melihat saat sekarang, dimana e-KTP sudah berjalan, ya...sudah terlambat.
Mengapa bisa terlambat? Itulah Indonesia: kalau bisa diperlambat, kenapa harus cepat-cepat? Kalau bisa dibuat repot, kenapa harus lancar?????
Saya lahir di Sedan (C2N), Kab Rembang, Jawa Tengah. Sekolah dari SD hingga SMP di Sedan, SMA di Rembang kemudian lanjut kuliah di Jogja. Setelah bekerja, awalnya di Konsultan, pindah LSM dan pindah lagi di Kontraktor, proyekan. Sebagai orang proyek, otomatis sering berkembara dari satu kota ke kota lainnya. Blog ini adalah sarana menyimpan memori setiap bentuk kenikmatan yang selalu saya terima selama pengembaraan tersebut.
Jumat, 20 April 2012
Senin, 16 April 2012
nasib....nasib.....(derita rakyat kecil)
Tidak tahu lagi siapa yang salah, yang lebih salah dan yang sangat-sangat salah.
Awalnya berita di koran, seorang kelasi tewas dibunuh gara-garanya karena menegur sekawanan pemotor yang menghalang-halangi jalannya truk yang sedang dia kawal. Entah karena lambat ditangani oleh pihak Kepolisian, atau karena ada sebagian orang yang tidak sabar karena penanganan kasus pembunuhan tersebut yang lambat, tidak berapa lama kemudian muncullah aksi balasan. Mereka yang tidak sabar ini kemudian menyerang beberapa gerombolan pemotor di beberapa titik lokasi, dan pos polisi!
Polisi bertindak, dengan menggandeng TNI mereka berpatroli untuk mencari gerombolan pemotor tersebut. Kenapa perlu "gandengan"? Bukankah sudah diberi kemandirian, lewat Undang-Undang yang sah? Lantas, dalam kasus teroris kenapa Polisi bisa begitu sangat sigap, serang sana sini, tangkap sana sini. Apalagi kalau menyangkut rakyat kecil......?
Coba saja kalau kita sudah berupaya "taat peraturan", kita pasti masih dicari-cari kesalahan yang lain, bukannya malahan diapresiasi: kasih ucapan selamat misalnya. Pernah suatu ketika bertugas di Kalsel, perusahaan sudah membeli BBM industri, tiba gilirannya untuk dibagi-bagi ke lokasi yang memang tersebar, di tengah jalan terhadang patroli, e.......surat-surat sudah lengkap sekalipun, masih saja diminta ini-ini.....dilimpahkan ke teman polisi berikutnya, berbelit-belit lah pokoknya. Begitu tidak menemukan kesalahan, e......dibiarin begitu saja.
Sebenarnya Polisi mempunyai banyak kesempatan untuk membangun citra, yang langsung bisa kelihatan di mata warga. Ini berbeda dengan tempat TNI, yang sukar untuk dilihat warga. Polisi akan dengan mudah dilihat warga untuk kemudian dinilai bagus dimata warga, jika dijalan ketika patroli, memberi apresiasi, memberikan edukasi terhadap kesalahan yang sangat ringan dan memberitahu kesalahan warga seandainya memang rambu-rambu larangan tidak/kurang terlihat dengan jelas. Bukannya menunggu sebuah jebakan atas kekurangtahuan warga.
Awalnya berita di koran, seorang kelasi tewas dibunuh gara-garanya karena menegur sekawanan pemotor yang menghalang-halangi jalannya truk yang sedang dia kawal. Entah karena lambat ditangani oleh pihak Kepolisian, atau karena ada sebagian orang yang tidak sabar karena penanganan kasus pembunuhan tersebut yang lambat, tidak berapa lama kemudian muncullah aksi balasan. Mereka yang tidak sabar ini kemudian menyerang beberapa gerombolan pemotor di beberapa titik lokasi, dan pos polisi!
Polisi bertindak, dengan menggandeng TNI mereka berpatroli untuk mencari gerombolan pemotor tersebut. Kenapa perlu "gandengan"? Bukankah sudah diberi kemandirian, lewat Undang-Undang yang sah? Lantas, dalam kasus teroris kenapa Polisi bisa begitu sangat sigap, serang sana sini, tangkap sana sini. Apalagi kalau menyangkut rakyat kecil......?
Coba saja kalau kita sudah berupaya "taat peraturan", kita pasti masih dicari-cari kesalahan yang lain, bukannya malahan diapresiasi: kasih ucapan selamat misalnya. Pernah suatu ketika bertugas di Kalsel, perusahaan sudah membeli BBM industri, tiba gilirannya untuk dibagi-bagi ke lokasi yang memang tersebar, di tengah jalan terhadang patroli, e.......surat-surat sudah lengkap sekalipun, masih saja diminta ini-ini.....dilimpahkan ke teman polisi berikutnya, berbelit-belit lah pokoknya. Begitu tidak menemukan kesalahan, e......dibiarin begitu saja.
Sebenarnya Polisi mempunyai banyak kesempatan untuk membangun citra, yang langsung bisa kelihatan di mata warga. Ini berbeda dengan tempat TNI, yang sukar untuk dilihat warga. Polisi akan dengan mudah dilihat warga untuk kemudian dinilai bagus dimata warga, jika dijalan ketika patroli, memberi apresiasi, memberikan edukasi terhadap kesalahan yang sangat ringan dan memberitahu kesalahan warga seandainya memang rambu-rambu larangan tidak/kurang terlihat dengan jelas. Bukannya menunggu sebuah jebakan atas kekurangtahuan warga.
Rabu, 04 April 2012
Rusak...... rusak......oh negriku (2)
Menyiapkan kondisi sosial sebuah proyek; sebuah tugas berat. Salah bicara sedikit ke warga, kacaulah pelaksanaannya. Pertama kali kami datangi adalah Kepala Desa. Walau sebenarnya yang berkepentingan adalah cuma Bapak Kepala Desa, tetapi ternyata ada beberapa perangkatnya yang nebeng. Ada maunya, tentu!
Setelah menyampaikan kepentingan, mohon bantuan untuk kelancaran proyek kami, maka meluncurlah berbagai titipan dari mereka. Mulai dari pekerja, bantuan kas desa dan suplier material yang harus dari warga desa. Juga informasi dari mereka: adanya LSM dan ORMAS yang nantinya hendak ikut berperan, dan "riak-riak" kecil yang pasti akan terjadi saat proyek berlangsung karena alasan debu atau bising.
Berikutnya, adalah POLSEK, unsur dari MUSPIKA. Dengan kepentingan yang sama, kami datangi. Informasi yang hampir sama juga kami dapatkan: LSM, ORMAS dan "riak-riak kecil". Dua unsur MUSPIKA berikutnya, belum sempat kami datangi, karena keterbatasan waktu.
Setelah itu, Tim lapangan kami datangkan untuk memulai: pelaksanaan proyek. Benar juga informasi-informasi tersebut. Tim kami, hampir tiap waktu mendapatkan kunjungan dan SMS, dari anggota LSM, anggota ORMAS, oknum pejabat pengamanan, meminta koordinasi tetapi ujung-ujungnya sebenarnya adalah permintaan dana. Walau Tim kami sudah menjelaskan, bahwa kita sudah berkoordinasi dengan perangkat desa dan kecamatan, tetap saja kunjungan dan SMS selalu kami alami dan terima: setiap hari, lebih dari sekali.
Di kesempatan berikutnya, dengan tim yang lebih komplit, dengan ditambah seorang aparat yang lebih "mentereng", kami datang ke lokasi untuk berkoordinasi: LSM, ORMAS, dan aparat keamanan. Sedikit panjang negosiasi, akhirnya tercapailah "kebijaksanaan" dari perusahaan: ada dana untuk mereka. Meski mereka meminta agar dibayar segera, kami bersikukuh tidak bisa, karena kami belum mendapatkan dana dari pemberi kerja.
Dan.....benar, setelah rapat koordinasi tersebut, kunjungan dan SMS tidak ada yang kami terima. Yang masih ada, yaitu "riak-riak kecil" lainnya, yang sanggup kami hadapi.
Sisi lainnya? Masih ada! Urusan administrasi proyek dengan pemberi kerja. Hampir di setiap pintu dan loket untuk pengurusan administrasi, diperlukan "password". Kalau tidak ada, akibatnya jangan ditanya! Pasti menunggu lama dan sangat lama...........Ketika itu, salah seorang teman akan mengurus administrasi (surat) perijinan ke pihak owner (sebuah perusahaan perminyakan), menemui seorang staf. Setelah berkas diserahkan, staf tersebut mengatakan: jadinya "nanti" ya, karena Bos baru ada tamu. "Nanti kapan?" teman saya balik bertanya. "Ya nanti, karena Bos masih ada tamu", jawab staf tak kalah sengitnya.Beberapa saat kemudian, setelah teman saya memberikan "password". Staf tersebut menjawab," Nanti jam 3 hubungi saya ya!".
Setelah menyampaikan kepentingan, mohon bantuan untuk kelancaran proyek kami, maka meluncurlah berbagai titipan dari mereka. Mulai dari pekerja, bantuan kas desa dan suplier material yang harus dari warga desa. Juga informasi dari mereka: adanya LSM dan ORMAS yang nantinya hendak ikut berperan, dan "riak-riak" kecil yang pasti akan terjadi saat proyek berlangsung karena alasan debu atau bising.
Berikutnya, adalah POLSEK, unsur dari MUSPIKA. Dengan kepentingan yang sama, kami datangi. Informasi yang hampir sama juga kami dapatkan: LSM, ORMAS dan "riak-riak kecil". Dua unsur MUSPIKA berikutnya, belum sempat kami datangi, karena keterbatasan waktu.
Setelah itu, Tim lapangan kami datangkan untuk memulai: pelaksanaan proyek. Benar juga informasi-informasi tersebut. Tim kami, hampir tiap waktu mendapatkan kunjungan dan SMS, dari anggota LSM, anggota ORMAS, oknum pejabat pengamanan, meminta koordinasi tetapi ujung-ujungnya sebenarnya adalah permintaan dana. Walau Tim kami sudah menjelaskan, bahwa kita sudah berkoordinasi dengan perangkat desa dan kecamatan, tetap saja kunjungan dan SMS selalu kami alami dan terima: setiap hari, lebih dari sekali.
Di kesempatan berikutnya, dengan tim yang lebih komplit, dengan ditambah seorang aparat yang lebih "mentereng", kami datang ke lokasi untuk berkoordinasi: LSM, ORMAS, dan aparat keamanan. Sedikit panjang negosiasi, akhirnya tercapailah "kebijaksanaan" dari perusahaan: ada dana untuk mereka. Meski mereka meminta agar dibayar segera, kami bersikukuh tidak bisa, karena kami belum mendapatkan dana dari pemberi kerja.
Dan.....benar, setelah rapat koordinasi tersebut, kunjungan dan SMS tidak ada yang kami terima. Yang masih ada, yaitu "riak-riak kecil" lainnya, yang sanggup kami hadapi.
Sisi lainnya? Masih ada! Urusan administrasi proyek dengan pemberi kerja. Hampir di setiap pintu dan loket untuk pengurusan administrasi, diperlukan "password". Kalau tidak ada, akibatnya jangan ditanya! Pasti menunggu lama dan sangat lama...........Ketika itu, salah seorang teman akan mengurus administrasi (surat) perijinan ke pihak owner (sebuah perusahaan perminyakan), menemui seorang staf. Setelah berkas diserahkan, staf tersebut mengatakan: jadinya "nanti" ya, karena Bos baru ada tamu. "Nanti kapan?" teman saya balik bertanya. "Ya nanti, karena Bos masih ada tamu", jawab staf tak kalah sengitnya.Beberapa saat kemudian, setelah teman saya memberikan "password". Staf tersebut menjawab," Nanti jam 3 hubungi saya ya!".
Berhajilah selagi Muda (07) ARMINA
Inilah inti ibadah Haji. Perjalanan dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah, dari Mekah menuju Arofah. Ada beberapa rombongan yang mengambil tinggal terlebih dulu di Mina, tidak langsung di Arofahnya, Hari Tarwiyah. Sedangkan rombongan kami lebih memilih amannya, mengingat pada hari-hari tersebut lalu lintas sangat padat, mudah sekali terjebak kemacetan. Jika terkena macet, sebelum tiba di Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah, saatnya wukuf, maka gagallah haji kita. Kenyataannya memang ada beberapa rombongan yang tibanya di arofah pada tanggal 9 dzulhijjah pada sore harinya. Padahal Wukuf dimulai setelah matahari tergelincir, tanggal 9 dzulhijjah.
Berangkat dari Mekah, setelah sholat jumat, tanggal 8 dzulhijjah, rombongan kami tiba di Arofah sekitar waktu ashar. Jaraknya tidak terlalu jauh memang, sekitar 5 kilometeran. Cuman lalau lintasnya saja yang sangat padat. Sholat berjamaah, dzikir, baca Quran adalah kegiatan utama di sini selain mengantri! Bayangkan, seluruh jamaah haji terkonsentrasi di Arofah dengan fasilitas yang terbatas: makan dan minum, dan MCK. Memang benar di sinilah kesabaran para jamaah haji diuji, terutama dalam hal kesabaran mengantri. Mau makan: antri, mau ke MCK antri, yang paling tidak enak adalah ketika sudah sangat kebelet untuk buang air besar masih harus tetap menunggu antrian karena jamaah di depan kita tidak mau mengalah untuk memberi tempat terlebih dulu.
Pagi hari menjelang sholat shubuh, suasana di Arofah bergeliat oleh kegiatan para jamaah yang sudah antri mengular untuk berthoharoh :ke toilet, mandi, dan wudlu. Setelah sholat shubuh berjamaah, antri lagi untuk sarapan pagi. Setelah itu sholat dluha, mengaji dan bersiap-siap wukuf setelah sholat dluhur terlebih dulu. Suasana haru sudah mulai terasa semenjak pagi itu.....dan lebih terasa saat setelah sholat dluhur. Keharuan, kesyahduan, sesenggukan, tangisan dan linangan air mata sudah dimulai semenjak khotbah wukuf disuarakan.
Dan puncaknya.......adalah saat wukuf itu sendiri! Tangisan, sesenggukan dan linangan air mata yang tiada henti membasahi arofah yang kering kerontang. Apalagi suasana Arofah memang sudah demikian adanya: hening dan syahdu! Sangat terasa. Tempat bertemunya Nabi Adam dan Ibu Hawa, nenek moyang umat manusia di seluruh dunia.
Menjelang maghrib, jamaah berkemas untuk menuju muzdalifah, mabit sampai menjelang fajar, mengumpulkan batu-batu untuk jumrah di Mina. Jaraknya juga tidak jauh, hanya karena lalu lintas yang padat yang sering membikin para jamaah terlambat tiba di muzdalifah. Oleh karena alasan tersebut, ada beberapa jamaah yang lebih memilih berjalan kaki dari arofah menuju ke Muzdalifah. Setelah mengumpulkan batu-batu, jamaah beristirahat, tidur ayam, untuk kemudian bangun lagu dan bersiap-siap menunggu jemputan bus ke Mina, pagi dini harinya.
Perlu berhati-hati di muzdalifah, usahakan tetap berkumpul dengan rombongan, karena seluruh jamaah berkumpul di satu titik ini. Sekejap terpisah, sangat sulit menemukan rombongannya kembali. Meskipun di sini waktunya cuma sebentar, namun saya menjumpai begitu banyak jamaah haji dari daerah lain yang tersesat mencari teman satu rombongannya. Dan justru karena sebentar, jika kita tersesat dalam waktu yang lama akan mengacaukan jadwal pemberangkatan menuju ke Mina, tempat melaksanakan jumroh.
Menjelang dinihari, bus jemputan mulai berdatangan di muzdalifah. Kloter demi kloter berbaris menuju pinggir jalan, tempat untuk naik ke dalam bus yang akan membawa kita menuju Mina. Tidak perlu waktu lama untuk sampai di Mina, karena jaraknya yang tida jauh. Istirahat sebentar, bersih-bersih, mandi, ambil wudlu lalu rombongan bersiap-siap menuju jamarat. Pemilihan waktu dini hari ini bukannya tanpa alasan, karena untuk menghindari kesesakan dan penuhnya jamaah di siang hari. Banyak jamaah yang mencari waktu utama (afdhol) yaitu setelah matahari tergelincir di siang hari. Apalagi jarak yang harus kami tempuh dari perkemahan ke jamarat cukup jauh, sehingga kalau berangkat siang hari dengan panas matahari yang cukup terik, akan menguras tenaga kita, meskipun di beberapa titik disiapkan tempat untuk minum air dan MCK secara gratis. Takbir dan tahmid selalu berkumandang menemani setiap langkah kita bersama-sama dengan umat islam dari belahan dunia lainnya. Jumrah hari pertama cukup melempar di jumarah aqobah, satu tempat saja.
Hari kedua di Mina, seperti hari sebelumnya, kita harus melaksanakan jumrah, tapi kali ini di tiga tempat, Ula, wustho dan aqobah. Kali ini, saya berempat: istri dan sepasang teman: suami istri, memisahkan dari rombongan karena kami berniat untuk melaksanakan tanazul: menyempatkan ke Mekah untuuk thowaf ifadloh lalu kembali lagi ke Mina untuk mengambil nafar tsani. Berbeda dengan para jamaah lain dalam satu rombongan yang kebanyakan memilih nafar awal. Selesai, ketiga jumroh, kami berempat berjalan kaki menuju titik tempat adanya taksi tujuan Mekah. Sebelumnya kami sudah mendapatkan informasi, bahwasanya saat-saat wukuf tarif taksi akan naik berlipat. Benar saja, kami per kepala dikenai harga SAR 10 untuk harga yang biasanya cuman SAR 4-5.
Tiba di Mekah, kami langsung melaksanakan thowaf ifadloh dan sa'i, dengan rasa lelah yang tidak terkira, setelah sebelumnya jalan kaki dari kemah menuju ke jamarat. Alhamdulillah, masih kuat juga. Tetapi tiba gilirannya untuk pulang ke Maktab di Nakassah dan balik lagi ke Mina.....? Sungguh-sungguh tidak kuat. Maka, kami berempat memutuskan untuk naik taksi menuju ke Maktab di Nakassah. Berapa tarifnya? SAR 150 !!! Sungguh sebuah harga yang mencekik. Tapi, gimana lagi? Sudah tidak ada pilihan. Padahal harga biasa naik taksi berombongan cukup cukup dengan harga SAR 2, atau taksi yang bagus (isi 4 orang), harganya SAR 5.
Di taksi sambil ngobrol dengan sopir, yang kebanyakan lebih banyak pakai bahasa monyet (baca: isyarat), kami mendapatkan informasi kalau sopir tersebut berasal dari Afganistan. Tidak lupa pula membuat janji dengannya untuk mengantarkan kami nanti malam ke Mina, setelah kami istirahat cukup di maktab. Dengan tujuan Mina, berangkat dari Nakassah, harganya lebih gila, yaitu SAR 350.
..........................tunggu kelanjutannya!
Berangkat dari Mekah, setelah sholat jumat, tanggal 8 dzulhijjah, rombongan kami tiba di Arofah sekitar waktu ashar. Jaraknya tidak terlalu jauh memang, sekitar 5 kilometeran. Cuman lalau lintasnya saja yang sangat padat. Sholat berjamaah, dzikir, baca Quran adalah kegiatan utama di sini selain mengantri! Bayangkan, seluruh jamaah haji terkonsentrasi di Arofah dengan fasilitas yang terbatas: makan dan minum, dan MCK. Memang benar di sinilah kesabaran para jamaah haji diuji, terutama dalam hal kesabaran mengantri. Mau makan: antri, mau ke MCK antri, yang paling tidak enak adalah ketika sudah sangat kebelet untuk buang air besar masih harus tetap menunggu antrian karena jamaah di depan kita tidak mau mengalah untuk memberi tempat terlebih dulu.
Pagi hari menjelang sholat shubuh, suasana di Arofah bergeliat oleh kegiatan para jamaah yang sudah antri mengular untuk berthoharoh :ke toilet, mandi, dan wudlu. Setelah sholat shubuh berjamaah, antri lagi untuk sarapan pagi. Setelah itu sholat dluha, mengaji dan bersiap-siap wukuf setelah sholat dluhur terlebih dulu. Suasana haru sudah mulai terasa semenjak pagi itu.....dan lebih terasa saat setelah sholat dluhur. Keharuan, kesyahduan, sesenggukan, tangisan dan linangan air mata sudah dimulai semenjak khotbah wukuf disuarakan.
Dan puncaknya.......adalah saat wukuf itu sendiri! Tangisan, sesenggukan dan linangan air mata yang tiada henti membasahi arofah yang kering kerontang. Apalagi suasana Arofah memang sudah demikian adanya: hening dan syahdu! Sangat terasa. Tempat bertemunya Nabi Adam dan Ibu Hawa, nenek moyang umat manusia di seluruh dunia.
Menjelang maghrib, jamaah berkemas untuk menuju muzdalifah, mabit sampai menjelang fajar, mengumpulkan batu-batu untuk jumrah di Mina. Jaraknya juga tidak jauh, hanya karena lalu lintas yang padat yang sering membikin para jamaah terlambat tiba di muzdalifah. Oleh karena alasan tersebut, ada beberapa jamaah yang lebih memilih berjalan kaki dari arofah menuju ke Muzdalifah. Setelah mengumpulkan batu-batu, jamaah beristirahat, tidur ayam, untuk kemudian bangun lagu dan bersiap-siap menunggu jemputan bus ke Mina, pagi dini harinya.
Perlu berhati-hati di muzdalifah, usahakan tetap berkumpul dengan rombongan, karena seluruh jamaah berkumpul di satu titik ini. Sekejap terpisah, sangat sulit menemukan rombongannya kembali. Meskipun di sini waktunya cuma sebentar, namun saya menjumpai begitu banyak jamaah haji dari daerah lain yang tersesat mencari teman satu rombongannya. Dan justru karena sebentar, jika kita tersesat dalam waktu yang lama akan mengacaukan jadwal pemberangkatan menuju ke Mina, tempat melaksanakan jumroh.
Menjelang dinihari, bus jemputan mulai berdatangan di muzdalifah. Kloter demi kloter berbaris menuju pinggir jalan, tempat untuk naik ke dalam bus yang akan membawa kita menuju Mina. Tidak perlu waktu lama untuk sampai di Mina, karena jaraknya yang tida jauh. Istirahat sebentar, bersih-bersih, mandi, ambil wudlu lalu rombongan bersiap-siap menuju jamarat. Pemilihan waktu dini hari ini bukannya tanpa alasan, karena untuk menghindari kesesakan dan penuhnya jamaah di siang hari. Banyak jamaah yang mencari waktu utama (afdhol) yaitu setelah matahari tergelincir di siang hari. Apalagi jarak yang harus kami tempuh dari perkemahan ke jamarat cukup jauh, sehingga kalau berangkat siang hari dengan panas matahari yang cukup terik, akan menguras tenaga kita, meskipun di beberapa titik disiapkan tempat untuk minum air dan MCK secara gratis. Takbir dan tahmid selalu berkumandang menemani setiap langkah kita bersama-sama dengan umat islam dari belahan dunia lainnya. Jumrah hari pertama cukup melempar di jumarah aqobah, satu tempat saja.
Hari kedua di Mina, seperti hari sebelumnya, kita harus melaksanakan jumrah, tapi kali ini di tiga tempat, Ula, wustho dan aqobah. Kali ini, saya berempat: istri dan sepasang teman: suami istri, memisahkan dari rombongan karena kami berniat untuk melaksanakan tanazul: menyempatkan ke Mekah untuuk thowaf ifadloh lalu kembali lagi ke Mina untuk mengambil nafar tsani. Berbeda dengan para jamaah lain dalam satu rombongan yang kebanyakan memilih nafar awal. Selesai, ketiga jumroh, kami berempat berjalan kaki menuju titik tempat adanya taksi tujuan Mekah. Sebelumnya kami sudah mendapatkan informasi, bahwasanya saat-saat wukuf tarif taksi akan naik berlipat. Benar saja, kami per kepala dikenai harga SAR 10 untuk harga yang biasanya cuman SAR 4-5.
Tiba di Mekah, kami langsung melaksanakan thowaf ifadloh dan sa'i, dengan rasa lelah yang tidak terkira, setelah sebelumnya jalan kaki dari kemah menuju ke jamarat. Alhamdulillah, masih kuat juga. Tetapi tiba gilirannya untuk pulang ke Maktab di Nakassah dan balik lagi ke Mina.....? Sungguh-sungguh tidak kuat. Maka, kami berempat memutuskan untuk naik taksi menuju ke Maktab di Nakassah. Berapa tarifnya? SAR 150 !!! Sungguh sebuah harga yang mencekik. Tapi, gimana lagi? Sudah tidak ada pilihan. Padahal harga biasa naik taksi berombongan cukup cukup dengan harga SAR 2, atau taksi yang bagus (isi 4 orang), harganya SAR 5.
Di taksi sambil ngobrol dengan sopir, yang kebanyakan lebih banyak pakai bahasa monyet (baca: isyarat), kami mendapatkan informasi kalau sopir tersebut berasal dari Afganistan. Tidak lupa pula membuat janji dengannya untuk mengantarkan kami nanti malam ke Mina, setelah kami istirahat cukup di maktab. Dengan tujuan Mina, berangkat dari Nakassah, harganya lebih gila, yaitu SAR 350.
..........................tunggu kelanjutannya!
Langganan:
Postingan (Atom)
gara-gara akik
Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...
-
Perjalanan hidup kali ini membawaku ke Kota Muara Teweh, Ibukota Kabupaten Barito Utara, Propinsi Kalimantan Tengah, kira-kira 10 jam perjal...
-
Jagoan ketigaku umurnya 8 tahun, kelas 2 Sekolah Dasar. Baru menyenangi akik yang saya beli di Martapura, sewaktu saya pulang bertugas dari ...
-
Jaman Aku kecil dulu............. 1. Petik buah di halaman, terus bagi ke tetangga kiri dan kanan 2. Buang bangkai dengan cara mengubur di...